Cepatnya pembangunan dan urbanisasi di kota-kota di Indonesia mendorong kenaikan jumlah pergerakan kendaraan bermotor dan peningkatan isu lingkungan. Laporan Bank Dunia tahun 2006 memprediksi, akhir abad 20 jumlah populasi yang menghuni kota-kota besar akan mencapai 300 juta (41%) dan jumlah kendaraan akan mencapai 20 juta (35%).
Demikian juga yang terjadi di Kota Solo. Saat ini, jumlah kendaraan yang masuk Kota Solo mencapai 2,5 juta kendaraan per tahun, meningkat tajam dibanding tahun 2006 yang hanya 750.000 unit kendaraan. “Kondisi jalan tidak ada penambahan, tapi kendaraan tumbuh terus. Ini sudah saatnya beralih ke transportasi umum. Kalau tidak ya sudah, Solo bakal macet total,” demikian pernyataan Yosca Herman Soedrajat, Kadishubkominfo Kota Solo di Harian Solopos 29 September 2015 silam.
Benar bahwa panjang jalan tidak sebanding dengan jumlah kendaraan bermotor. Berangkat dari pertimbangan ini, pemerintah Kota Solo melalui Dishubkominfo mewacanakan pembuatan gedung parkir di Lapangan Kota Barat, sebuah lansekap yang merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di dekat pusat kota, alih-alih membuat perencanaan transportasi yang komprehensif seperti yang tertuang dalam dokumen RTRW Kota Solo Tahun 2011-2031 pasal 6 ayat 3(c): mengembangkan sistem Transit Oriented Development (TOD) meliputi pembangunan dan pengembangan terminal/stasiun antar moda pada pusat-pusat kegiatan, stasiun angkutan jalan rel, shelter angkutan massal jalan raya dan terminal angkutan umum jalan raya yang terintegrasi dengan pengembangan lahan di sekitarnya dan ayat 3(d) : membangun sistem park and ride dengan mengembangkan lahan parkir di pinggir kota maupun lokasi transfer moda untuk melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum menuju ke tengah kota. Sistem park and ride diperjelas lagi dalam pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa prasarana park and ride dikembangkan di pinggir kota dengan menyediakan fasilitas taman atau gedung parkir, lokasi pinggir kota yang dimaksud adalah : Kelurahan Sondakan, Laweyan; Kelurahan Joyotakan, Pasarkliwon, Kelurahan Pucangsawit dan Kelurahan Mojosongo, Jebres. Lapangan Kota Barat bukan termasuk kawasan pinggir kota dan justru terletak di kawasan pusat kota di Kelurahan Mangkubumen.
[caption caption="Lapangan Kota Barat _ RTH di pusat Kota Solo (dok.pri)"][/caption]
Sementara itu, penggunaan RTH yang disulap menjadi gedung parkir akan berkontribusi mengurangi jumlah luasan RTH di Kota Solo, yang saat ini hanya berkisar 12%. Padahal, berdasarkan Undang-Undang RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa luas RTH kota ditentukan minimal 30 %. Demikian juga dengan RTRW Kota Solo Tahun 2011-2031 dalam pasal 8 ayat 2(b) disebutkan bahwa kota menyediakan RTH minimal 30% dari luas kota, dengan tujuan yang termuat dalam pasal 9 ayat 1(a) yaitu mewujudkan ruang kawasan budidaya yang terintegrasi atas nilai budaya dan lingkungan (Eco Cultural) dengan salah satu strateginya yang tertuang dalam pasal 9 ayat 2(a) yaitu mengembangkan kegiatan budidaya yang tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan sesuai potensi dan karakteristik kawasan sehingga mempunyai daya saing kompetitif dan komparatif berskala regional, nasional, dan internasional.
Ruang terbuka hijau memiliki fungsi ekologis, sosial budaya, arsitektur dan ekonomi (Supriyatno, 2009): (1) Fungsi ekologis: menurunkan temperatur kota, mengurangi polusi udara, mencegah banjir dan meningkatkan kualitas air tanah. (2) Secara sosial budaya: sebagai ruang berinteraksi, rekreasi dan sebagai tanda kota berbudaya. (3) Fungsi arsitektur: meningkatkan keindahan dan kenyamanan kota melalui taman-taman kota, jalur-jalur hijau dan jalan-jalan kota. (4) Fungsi ekonomi: jika ruang terbuka hijau ini dikelola dengan baik dan menarik maka akan mengundang penghuni kota hadir berekreasi dan membangkitkan sektor ekonomi di sekitarnya.
Saat ini Kota Solo memiliki panduan yang disebut Eco Cultural City untuk program City Vision Profile yang disusun sejak tahun 2011 yang merupakan hasil kerjasama dari Cities Alliance, UN Habitat, Pemerintah Kota Solo dan Departemen Pekerjaan Umum. Dalam panduan tersebut, strategi pembangunan Kota Solo berfokus pada 4 (empat) komponen : ekologi, warisan, ekonomi dan struktur pertumbuhan. Dalam draft dokumen City Profiling disebutkan fakta bahwa pertumbuhan kota telah mencapai titik kulminasi, yang berarti ada tantangan terbatasnya kesempatan untuk penyediaan ruang terbuka dan taman (hal.3). Strategi ekologi ini mengharapkan luaran untuk meningkatkan akses masyarakat ke ruang publik, serta meningkatkan kesehatan publik dan kenyamanan ruang publik (hal.9).
[caption caption="Lapangan Kota Barat - Jalan raya di depannya sering macet bila peak hor datang dan pulang sekolah (dok.pri)"]
[/caption]
Gedung parkir di Kota Barat yang direncanakan berada di kawasan sekolah, SD 15, SD 16, SMP 24 dan SMP 25 dan dekat perlintasan KA. Keberadaan sekolah ini tidak disertai penyediaan lahan parkir padahal kesamaan jam belajar dan jam bubar beberapa sekolah yang berlokasi “mengumpul” di kawasan tersebut tidak atau belum diatur sedemikian rupa sehingga para pengantar dan penjemput datang bersamaan dan memunculkan beban lingkungan (parkir) serta bubar bersamaan yang mengakibatkan puncak arus yang bertemu dalam satu kawasan perempatan yang cukup padat. Kepadatan yang terjadi setiap hari sebenarnya hanya terjadi pada jam-jam tertentu akibat kegiatan beberapa sekolah yang “mengumpul” di kawasan itu selebihnya tidaklah terlalu menimbulkan masalah. Kemampuan manajemen penggunaan lahan dan manajemen lalu lintas menjadi pendekatan untuk memecahkan masalah di kawasan tersebut kuncinya pada ruang dan waktu, dan penegakan aturan yang tentu saja merupakan kesepakatan dari semua stakeholders yang memiliki keterkaitan dengan masalah dikawasan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H