Lihat ke Halaman Asli

Yusticia Arif

TERVERIFIKASI

Lembaga Ombudsman DIY

Yogyakarta "Ijo Ruko-ruko"

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13901806401723580708

Sejarah ruko erat kaitannya dengan para pendatang dari Cina, terutama suku Hokkian dari Provinsi Fujian yaitu dari pesisir Zhangzhou dan Quanzhou yang merupakan kota pelabuhan dan perdagangan. Kaum perantau ini lalu bermukim di tempat tinggal baru mereka dengan membawa budaya asal mereka, yang kini sering disebut kawasan Pecinan. Mereka telah terbiasa tinggal di sebuah rumah kecil memanjang, yang dijuluki tiam-chiu, berarti rumah dan toko atau ruko (sumber : Property Today).

[caption id="attachment_316982" align="aligncenter" width="576" caption="Ruko modern di Jalan Prof Yohanes Yogyakarta (dok.pri)"][/caption]

Tipologi ruangnya persegi empat, bermuka kecil, mengalur panjang ke belakang. Terdiri dari satu atau 2 lantai yang digunakan sebagai toko sekaligus tempat tinggal. Karena keefisienan ini, masyarakat di luar etnis Tionghoa pun ikut membangun ruko.

Ruko, saat ini telah berkembang menjadi pilihan investasi yang strategis, terutama di kota-kota besar terutama karena alasan tingginya harga lahan di perkotaan. Meskipun harganya tergolong tinggi, apabila terjadi pertumbuhan kegiatan ekonomi di sebuah kota, permintaan ruko tetap meningkat dari waktu ke waktu. Penyebab utamanya adalah kebutuhan ruang perkantoran dan area perdagangan yang berlokasi strategis di pusat kota.

[caption id="attachment_316984" align="aligncenter" width="300" caption="Ruko di Kawasan Gondomanan Yogyakarta (dok.pri)"]

1390180803590599342

[/caption]

Demikian pula dengan perkembangan dan pertumbuhan properti ini di Kota Yogyakarta. Menurut Ketua Real Estate Indonesia DPD DIY, Remingus Edi Waluyo (Tribun, 24 Desember 2013), tingkat pertumbuhan investasi properti, khususnya ruko, memang cukup bagus. Untuk kawasan strategis, dalam satu tahun, kenaikan harganya rata-rata di atas 10%.

Nampaknya, inilah kenapa pertumbuhan ruko di Kota Yogyakarta bak cendawan di musim hujan. Hampir di tiap sudut kota atau yang berdekatan dengan kawasan hunian baru, kita akan mudah sekali menemukan bangunan ruko ini. Entah bagaimana pemerintah kota dalam menyikapi perkembangan ini, terutama apabila dibandingkan dengan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Yogyakarta yang saat ini masih minim dan jauh dari angka yang menjadi acuannya.

[caption id="attachment_316985" align="aligncenter" width="300" caption="Ruko di Pojok Beteng Wetan (dok.pri)"]

1390180852395572873

[/caption]

Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%.

Di Yogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2 atau hanya sekitar 5,11 Ha (1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota, kebun raya, dan jalur hijau. Bila jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata kebutuhan penduduk, maka setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau.Ketidaktersediaan Ruang Terbuka Hijau bisa memberikan dampak negatif kepada warga dalam sebuah kota, misalnya saja, anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan tidak memiliki kawasan bermain untuk menyalurkan energinya dan sebagainya, sehingga seringkali terjadi anak-anak bermain bukan pada tempat yang seharusnya. Akankah hal seperti ini terus dibiarkan?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline