Tulisan saya yang pertama ini bermula dari sebuah kegiatan kunjungan lapangan yang bernama Field Visit pada Program Pascasarjana Spesialis Pekerjaan Sosial STKS Bandung. Sebuah pengalaman yang menarik dan tak akan terlupakan, yaitu mengunjungi PSBN Wyata Guna Bandung dan SOS Children’s di Lembang. Meskipun saya bekerja di lingkungan dinas sosial namun terus terang saya belum banyak memiliki pengalaman mengunjungi atau menangani masalah sosial secara langsung. Saya bukan sedang melakukan pembenaran kalau saya pegawai dinas sosial namun tidak terlibat langsung dalam penanganan masalah sosial. Hal ini wajar saja dikarenakan urusan kedinasan seringkali berkutat masalah administrasi apalagi saya bukan tenaga fungsional yang bekerja di lembaga pelayanan sosial. Terlebih lagi di daerah tempat saya berdinas, pemerintah daerahnya belum memiliki lembaga pelayanan sosial, ya begitulah adanya.
Beruntungnya saya bisa melanjutkan study di perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementrian Sosial yang membuka mata tentang betapa banyaknya masalah sosial yang harus ditangani guna tercapainya kesejahteraan sosial yang menjadi cita – cita negara kita. Ironis memang, setiap permasalahan sosial muncul dan tumbuh subur bagaikan jamur dimusim penghujan, masyarakat atau pun pemerintah selalu menunjuk hidung orang – orang dinas sosial lah yang harus bertanggung jawab, sementara itu dengan beban tugas yang begitu beratnya pemerintah masih memandang sebelah mata bidang pekerjaan sosial dengan masih minimnya alokasi dana untuk penanganan masalah sosial, padahal masalah sosial adalah masalah komplek dan urgen untuk ditangani. Ditamabah lagi masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap permasalahan sosial dan rendahnya minat masyarakat untuk ikut andil dalam menangani masalah sosial tersebut.
Saya tak akan berpanjang lebar tentang masalah sosial yang sudah bermasalah tersebut, melalui tulisan ini saya hanya mau berbagi pengalaman tentang betapa masih beruntungnya kita yang masih memiliki fisik sempurna tanpa cacat dan memiliki keluarga yang sayang dan cinta hingga kita dibesarakan dan menjadi bagian dari masyarakat yang hidup normal. Di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung, disitu Allah menunjukan rahman dan rahimnya kepada hambanya, anak – anak panti yang memiliki keterbatasan penglihatan dibina dan dididik sehingga bisa mandiri bahkan memiliki keterampilan yang berguna untuk masa depan mereka. Luar biasa, dengan keterbatasannya mereka ternyata memiliki ketajaman pendengaran dan ingatan sehingga melalui proes pembinaan dan pendidikan mereka bisa beraktivitas layaknya orang normal. Disamping itu, kita belajar betapa luar biasa para pembina, pendidik dan pekerja sosial di panti tersebut. Saya kira hanya orang – orang yang berhati mulia, kuat dan sabarlah yang mau mengabdikan diri mengasuh anak – anak netra tersebut. Persoalan bukan hanya sekedar mengajari mereka keterampilan hidup, namun seringkali pengasuh dan pendidik di panti tersebut dihadapkan oleh masalah psikososial anak –anak netra mulai dari trauma atas perlakuan kasar keluarga hingga pelecehan seksual. Tak sedikit anak – anak netra ini yang diterlantarkan bahkan dibuang oleh keluarganya. Dan kalaupun mereka tidak terlantar pihak keluarga justru over protektif dengan mengurung mereka di rumah tanpa mengenalkan anak netra tersebut dengan lingkungan sekitar sehingga mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk mengurus diri sendiri. Disinilah letak masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kecacatan yang dimiliki oleh anggota keluarganya. Seharusnya, kecacatan bukan dianggab aib tetapi kecacatan adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya agar orang lain mengambil ibroh dan hikmah serta mampu bersabar dan bersyukur.
Usai mengunjungi PSBN Wyata Guna, kunjungan dilanjutkan ke Yayasan SOS Children’s yang berada di Desa Taruna, Lembang. Menariknya, yayasan yang telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1973 ini memiliki konsep pengasuhan anak dengan program Family Base Care, dimana anak – anak yang kurang beruntung tinggal di sebuah rumah yang didalamnya ada ibu, kakak dan adik yang saling menyayangi. Program ini diterapkan dengan tujuan setiap anak dibesarkan dalam keluarga dengan kasih sayang, rasa dihargai dan rasa aman. Dengan program ini, anak –anak yang mulanya tidak memiliki keluarga dengan diasuh di yayasan ini, mereka memiliki rumah dengan keluarga yang menyanyanginya. Subhanallah, dengan konsep ini anak tentunya tumbuh layaknya anak normal meskipun mereka tidak memiliki orang tua kandung sendiri.
Disinilah saya terenyuh dan sekaligus takjub betapa besarnya kekuasaan Allah, ditengah ketelantaran anak – anak yang tak memiliki keluarga masih ada juga orang – orang yang berhati mulia yang mau mengabdikan diri untuk membantu mereka. Mungkin, saya sendiripun hanya sekedar mampu bercerita dan berbagi karena untuk turun tangan jujur saja saya tidak mampu. Dan pada akhir kunjungan rasa miris saya semakin terasa ketika bertemu dengan bayi laki – laki bernama Risyad yang baru berumur 6,5 bulan. Bayi sehat dan tampan itu telah diasuh di SOS Children’s sejak umurnya masih hitungan hari. Bagi saya, alangkah naifnya orang tua yang dengan sengajka ataupun tidak terpaksa harus menitipkan bayi tersebut untuk diasuh. Betapa, egoisnya kita sebagai orang dewasa harus memberikan darah daging kita untuk diasuh oleh orang lain atau lembaga sosial, terlepas apakah itu karena faktor ekonomi atau faktor yang lain, namun jikalau memang anak tersebut akan hidup lebih layak dengan diasuh oleh orang lain mungkin keputusan yang tepat. Wallahu’alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H