Lihat ke Halaman Asli

Yusril Ismail

Sedang dijalan

Cybersquatting: Kejahatan Digital terhadap Nama Domain

Diperbarui: 10 Mei 2022   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Kejahatan nama domain masih tetap terjadi yang nyatanya menjadi keresahan bagi mereka pelaku usaha dunia digital, di Indonesia sendiri kejahatan tersebut juga merupakan suatu keresahan yang harus diselesaikan.

 Cybersquatting adalah suatu kejahatan penyerobotan suatu nama domain merek dagang tertentu oleh pihak yang tidak berhak, yang biasanya digunakan untuk dijual lagi kepada pihak lain untuk memperoleh materi atau memang bertujuan kriminal. Kejahatan ini sering terjadi pada kepemilikian nama domain yang nyatanya menjadikan suatu keresahan bagi pemilik nama domain yang sudah terdaftar. Pihak yang melakukan cybersquatting biasanya disebut cybersquatter. Pada pratiknya cybersquatting biasa dilakukan pada merek terkenal, atau nama orang-orang terkenal maupun organisasi non-profit yang menjalankan kegiatannya melalui internet.
Nama domain adalah suatu alamat  dalam jaringan internet, pada jaringan internet tersebut digunakan untuk mempermudah pengguna dan mengingat nama server yang ingin dikunjungi. Dalam penggunannya nama domain menjadi lebih insetif dan nama domain menjadi bagian dari identitas seseorang atau entitas bisnis. Dapat disimpulkan bahwa nama domain dalam pemakainnya telah menjadi bagian dari perlengkapan komunikasi yang digunakan oleh kalangan bisnis untuk mengidentifikasikan diri, produk dan segala aktivitas serta berfungsi sebagai media dalam bisnis transaksi perdagangan.


Nama domain biasa diperjualbelikan secara bebas di internet dengan status sewa tahunan. Nama domain sendiri mempunyai identifikasi eksistensi/akhiran sesuai dengan kepentingan dan lokasi keberadaan website tersebut. Sebagai contoh nama domain yang bereksistensi internasional adalah com, net, org, info, biz, name, ws. Dan contoh untuk nama domain yang bereksistensi lokasi negara Indonesia adalah co.id (untuk nama domain website perusahaan), ac.id (nama domain website pendidikan), go.id (nama domain website instansi pemerintah), or.id (nama domain website organisasi). Dan pada perkembangannya, sering muncul tindakan penyalahgunaan nama domain dan menyebabkan timbulnya sengketa dalam dunia bisnis, antara lain cybersquatting yang terutama kaitannya dalam kegiatan E-comerce. E-comerce ialah sistem perdagangan yang menggunakan mekanisme elektronik yang ada di jaringan internet. E-comerce juga merupakan warna baru dalam dunia perdaganagan, yang mana kegiatan perdagangan tersebut dilakukan secara elektronik dan online.

Kejahatan Cybersquatting di Indonesia


Kejahatan Cybersquatting di Indonesia sendiri dalam kurun waktu ini telah terjadi pada beberapa nama domain yang sudah terdaftar, namun dalam realitanya belum terlalu di ekspos oleh masyarakat umum. Cybersquatting merupakan ancaman besar bagi dunia digital saat ini dan yang akan datang, mengingat perkembangan dunia digital yang semakin pesat dan hampir semua aktivitas dapat dilakukan secara digital.


Contoh kejahatan cybersquatting di Indonesia ialah pada kasus Mustika-Ratu.co.id yang terjadi pada 5 September 1996. PT. Mustika Ratu tidak dapat mendaftarkan mustika-ratu.com sebagai alamat websitenya. Hal ini merupakan suatu contoh bahwa cybersquatting adalah ancaman bagi dunia digital yang khususnya pemilik nama domain, juga merupakan suatu tantangan hukum di Indonesia untuk menjawab kasus kejahatan-kejahatan yang dilakukan cybersquatter. Dan secara konservatif, hal tersebut tidak etis dan apapun alasannya merupakan tindakan yang dimungkinkan akan menghancurkan merek dagang orang lain.


Pada kenyataannya pandangan konservatif ini yang menguasai cara pandang masyarakat sekarang, karena ada pandangan bahwa merek dagang itu memiliki hukum sehingga tidak bisa sembarang pihak yang menggunakan merek dagang tanpa ijin dari pemilik merek dagang tersebut walaupun motivasinya bukan untuk merugikan. Perusahaan pemilik nama domain cenderung mengalami kekawatiran terhadap cybersquatting karena tindakan ini dapat menghancurkan nama perusahaan mereka. Penamaan domain berkaitan erat dengan nama perusahaan dan/atau produk  (service) yang dimiliknya.


Kasus serupa bukan hanya terjadi pada PT. Mustika Ratu yang merupakan perusahaan kosmetik dalam negeri yang ternama, melainkan juga dialami oleh perusahaan e-commerce pemesanan tiket terbesar seperti Traveloka. Dengan adanya cybersquatting tersebut pihak Traveloka tidak dapat berbuat banyak ketika ada banyak nama domain yang menggunakan nama merek dagangnya karena adanya perlindungan privasi pada wesite domain palsu tersebut. Dalam hal ini jelas sekali Traveloka dirugikan karena konsumen diarahkan untuk mendapatkan informasi yang tidak terkait dengan pemesanan tiket melainkan situs pornografi. Maka pihak yang melakukan cybersquattig  ini diuntungkan.
 
Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Nama Domain Atas Terjadinya Cybersquatting


Secara hukum sebenarnya tindakan cybersquatting belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tetapi pelanggaran terhadap cybersquatting tersebut sudah pernah terjadi di Indonesia seperti contoh diatas.
Nama domain tersebut telah diatur di dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa setiap penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki nama domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa pemilikan dan penggunaan nama domain tersebut harus didasarkan pada itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak orang lain.


Akibat dari cybersquatting dapat berupa kerugian harta kekayaan atau meteriil dan imateriil, maka hal tersebut dapat dilakukan gugatan sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 38 UU ITE yang mengatur bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian. Selain UU ITE, cybersquatting juga diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa pemilik merek terdaftar dan/atau penerima lisensi merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa gugatan ganti rugi, dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan niaga dan dapat diajukan oleh pemilik merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan.


Adakalanya nama domain dapat menjadi merek dagang, apabila pemilik merek dagang kemudian mendaftarkan ke kantor pengelola nama domain, sehingga nama merek dagangnya tidak bisa didaftarkan lagi oleh orang lain. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap nama domain yang berhubungan dengan merek terkait tindakan cybersquatting itu juga terdapat sarana dari upaya pemerintah melindungi nama domain ini, yaitu melalui pemberian tanggung jawab kepada PANDI (Pengelola Nama Domain Indonesia).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline