Lihat ke Halaman Asli

Putusan MK: Tafsir Otoritatif Para Hakim Negarawan yang Memahami Konstitusi

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1391765573403293360

[caption id="attachment_321214" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Pada 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, memutus mengabulkan permohonan Uji Materi terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Effendi Gazali, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan sekaligus menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut di atas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, persoalannya, pada angka 2 amar putusan bernomor 14/PUU-XI/2013 itu disebutkan bahwa "Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;" Di sinilah letak persoalan mendasar yang tersisa dari putusan yang prosesnya ternyata mendapat sorotan berbagai kalangan Ahli Hukum Tata Negara.

Saya, seperti telah diketahui sebelumnya, pun mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Pilpres tersebut di atas. Awalnya karena telah diputuskan oleh MK, saya menimbang-nimbang untuk menarik permohonan. Namun, setelah menyadari dampak serius dari Putusan MK itu, saya tetap meneruskan permohonan itu, dan telah dilakukan Pemeriksaan II. Berikut adalah naskah lengkap perbaikan permohonan yang saya ajukan. Mudah-mudahan bermanfaat bagi para pembaca setia kompasiana.

Jakarta, 28 Januari 2014

Kepada Yang Mulia

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Jalan Merdeka Barat No 6

Jakarta Pusat

Perihal: Perbaikan Permohonan Pengujian Norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN 4924) terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [Reg. 108/PUU-XI/2013]

Dengan hormat,

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., usia 57 tahun, beragama Islam, pekerjaan dosen, adalah perorangan warganegara Republik Indonesia, beralamat di Jalan Karang Asem Utara No. 32, Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta 12950, selanjutnya disebut sebagai “Pemohon” (Bukti P-1).

Pemohon dengan ini mengajukan permohonan agar sudilah kiranya Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang, yakni menguji norma undang-undang dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN 4924) selanjutnya disebut “Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” (Bukti P-2), terhadap norma konstitusi dalam Pasal 4 ayat (1), 6A ayat (2), Pasal 7C dan Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut “UUD 1945” (Bukti P-3).

Sebelum melangkah untuk sampai kepada Petitum permohonan ini, izinkanlah Pemohon untuk terlebih dahulu secara sistematik menguraikan: (1) Hal-hal yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara pengujian undang-undang sebagaimana yang dimohonkan dalam permohonan ini; (2) Hal-hal yang terkait dengan kedudukan hukum atau “legal standing” Pemohon yang menerangkan adanya hak-hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; (3) Hal-hal yang terkait dengan argumentasi yuridis yang diajukan Pemohon sebagai landasan untuk mengajukan Petitum dalam permohonan ini; dan (4) Kesimpulan, sebagai berikut:

I. MAHKAMAH KONSTITUSI BERWENANG UNTUK MEMERIKSA, MENGADILI DAN MEMUTUS PERMOHONAN INI

1. Bahwa Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk sudilah kiranya melakukan pengujian norma undang-undang dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN 4924) terhadap norma konstitusi dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang menegaskan hal yang sama, yakni menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

3. Bahwa penegasan serupa sebagaimana telah diuraikan dalam angka 2 di atas, juga dikemukakan oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk” antara lain “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sementara ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;

4. Berdasarkan uraian angka 1 sampai 3 di atas, maka Pemohon berkesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

II. PEMOHON MEMILIKI KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) MENGAJUKAN PERMOHONAN INI

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang selanjutnya disebut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, mengatakan bahwa Pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

2. Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 jo Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu: (1) Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; (3) Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan (5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

3. Bahwa Pemohon oleh partai politik yang Pemohon menjadi anggotanya, yakni Partai Bulan Bintang (Bukti P4), telah diputuskan untuk menjadi calon Presiden Republik Indonesia dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014 yang akan datang (Bukti P5). Dalam memutuskan pencalonan tersebut, partai telah mempertimbangkan norma Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Pemohon telah memenuhi semua persyaratan yang dirumuskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dan karena itu secara konstitusional, Pemohon, berdasarkan asas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 --sebagaimana halnya warganegara yang lain yang memenuhi syarat-- mempunyai hak konstitusional untuk dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia;

4. Bahwa selanjutnya ketika Pemohon ingin melaksanakan keputusan partai politik yang telah memutuskan untuk mencalonkan Pemohon sebagai calon Presiden tersebut, baik Pemohon maupun partai tersebut akan mengikuti prosedur pencalonan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Bagi Pemohon, rumusan norma Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ini sangat jelas, yakni pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum. Partai Bulan Bintang adalah partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 dengan nomor urut 14 sebagaimana telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan telah diketahui oleh rakyat Indonesia pada umumnya. Dengan demikian, sekarang ini, Partai Bulan Bintang adalah partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

5. Bahwa selanjutnya, partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diuraikan dalam angka 4 di atas, haruslah melakukan pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden tersebut “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pemilihan Umum yang manakah yang dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) ini? Jawabannya ada di dalam BAB VIIB Undang-Undang Dasar 1945 yang judulnya “PEMILIHAN UMUM” yang membawahi 1 pasal saja, yakni Pasal 22E. Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Pasal 22E ayat (2) mengatakan: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Di antara pemilihan umum itu, pemilihan umum manakah yang pesertanya adalah partai politik? Jawabannya ada pada Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Dengan demikian, jelaslah bahwa pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden itu harus dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR dan DPRD yang diikuti oleh partai politik sebagai pesertanya. Tidak mungkin pencalonan itu sebelum pemilihan umum DPD atau pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, karena dalam dua pemilihan umum terakhir ini, pesertanya bukan partai politik, melainkan perorangan, baik perorangan calon anggota DPD maupun perorangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden;

6. Bahwa hak konstitusional Pemohon sebagaimana dikemukakan dalam angka 4 di atas dan prosedur pencalonannya telah diatur dalam norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, terhambat pelaksanaannya –dan oleh sebab itu Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya, dengan berlakunya norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menyatakan “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”;dan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; dan “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”. Intinya kesemua pasal undang-undang ini mengatur bahwa pencalonan dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan sesudah terlaksananya Pemilu DPR, DPD dan DPRD, yang seluruhnya merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan prosedur untuk melaksanakan hak konstitusional tersebut, sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

7. Bahwa berdasarkan argumentasi sebagaimana telah diuraikan dalam angka 1 sampai dengan 6 di atas, maka Pemohon berkesimpulan, Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan ini, berdasarkan 5 (lima) alasan, yakni: (1) Pemohon adalah perorangan warga negara Republik Indonesia; (2) Sebagai warganegara, Pemohon mempunyai hak konstitusional yang normanya telah diatur dan diberikan oleh UUD 1945, yakni hak konstitusional untuk dicalonkan sebagai Presiden Republik Indonesia karena memenuhi syarat-syarat yang diatur oleh Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum sebagaimana diatur dalam 6A ayat (2)Undang-Undang UD 1945; (3) Hak konstitusional Pemohon tersebut, nyata-nyata secara aktual dan spesifik telah dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang memberikan pengaturan yang pada intinya menghalang-halangi hak konstitusional Pemohon untuk maju ke pencalonan Presiden yang seharusnya sekarang inilah saatnya, setelah Partai Bulan Bintang yang kini berstatus sebagai Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014 mendaftarkan pencalonan Pemohon ke Komisi Pemilihan Umum; (4) Kerugian konstitusional kini nyata-nyata terjadi berdasarkan hubungan sebab-akibat (causal verband), yakni hak-hak konstitusional Pemohon untuk dicalonkan sebagai calon Presiden oleh partai politik peserta Pemilihan Umum dengan cara mendaftarkannya ke Komisi Pemilihan Umum, telah dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang a quo; (5) Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang diharapkan akan mengabulkan Petitum permohonan ini, maka kerugian konstitusional Pemohon dimaksud, diharapkan tidak akan terjadi.

III. ARGUMEN KONSTITUSIONAL BAHWA PASAL-PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN ADALAH BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

1. Bahwa amandemen UUD 1945 telah melakukan perubahan fundamental tentang tatacara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dari yang sebelumnya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi “dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” sebagaimana diatur dalam norma Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Syarat untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden juga berubah dari norma konstitusi yang lama, yang hanya menyebutkan “orang Indonesia asli” menjadi “seorang warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, dan seterusnya sebagaimana bunyi norma Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Sementara tatacara pencalonan dan pemilihan yang sebelumnya diatur dalam Ketetapan MPR, setelah amandemen, diatur lebih rinci di dalam norma undang-undang dasar yang selanjutnya diatur dengan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 6A ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945;

2. Bahwa norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Frasa pertama dalam umusan norma pasal 6A ayat (2) ini bagi Pemohon adalah terang dan jelas bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden “diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”. Kapankah sebuah partai politik dapat disebut sebagai “peserta pemilihan umum”? Pertanyaan ini hanya dapat dipahami konteksnya dengan merujuk kepada norma-norma dan praktik penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sejumlah paling sedikit 50 orang warganegara Indonesia dapat mendirikan partai politik dengan cara menuangkan keinginanannya tersebut dalam Akta Notaris;

3. Bahwa selanjutnya, partai politik itu akan sah berdiri setelah mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Namun, meskipun sebuah partai politik telah berdiri, partai itu tidaklah otomatis dapat menjadi peserta pemilihan umum. Untuk menjadi peserta Pemilihan Umum, ketentuan Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, partai politik yang ingin menjadi peserta Pemilihan Umum wajib mendaftarkan diriKPU. KPU selanjutnya akan melakukan verifikasi administrasi dan faktual di lapangan untuk memastikan apakah partai tersebut memenuhi syarat untuk menjadi peserta Pemilihan Umum sebagaimana diatur oleh undang-undang. Setelah melalui tahapan itu, barulah KPU memutuskan mana partai politik yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilihan Umum;

4. Bahwa dengan pemahaman seperti dalam angka 2 di atas, maka jelaslah norma Pasal 6A ayat (2) dalam frasa yang mengatakan bahwa “partai politik peserta pemilihan umum” adalah partai yang telah ditetapkan KPU sebagai peserta pemilihan umum untuk tahun tertentu –mengingat Pemilihan Umum sebagaimana dikemukakan oleh norma Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 diadakan setiap lima tahun sekali, misalnya Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2009, Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014 dan seterusnya. Hanya partai politik seperti itulah yang berhak untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam tahun tertentu setiap lima tahun sekali, sebagaimana dikemukakan oleh norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945;

5. Bahwa selain frasa yang telah diuraikan dalam angka 2 dan 3 di atas, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 memuat frasa lain yang mengatakan bahwa partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah dilakukan “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pemilihan Umum manakah yang dimaksudkan oleh frasa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 ini? Pemohon berpendapat, satu-satunya penafsiran yang benar atas frasa ini adalah, bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum itu adalah pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena hanya pemilihan umum inilah yang pesertanya adalah partai politik seperti dirumuskan dalam norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, bukan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang tentunya diikuti oleh perorangan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan bukan pula Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPD yang pesertanya adalah perseorangan;

6. Berdasarkan uraian dalam angka 1 sampai angka 5 di atas, maka jelaslah kiranya bahwa norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menyatakan, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”; dan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; dan “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” adalah seluruhnya bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang akan dirinci lebih lanjut dalam uraian-uraian di bawah ini;

7. Frasa “Pasangan Calon (Presiden dan Wakil Presiden) diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah jelas dan tegas bertentangan dengan bunyi norma “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Norma Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini terang-terangan memanipulasi kata “pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Kalau perolehan kursi masing-masing partai politik peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR telah diumumkan dan telah diketahui, maka partai politik tersebut bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana dimaksud oleh frasa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena pemilihan umum yang pesertanya adalah partai politik telah selesai dilaksanakan. Demikian pula frasa “sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah memanipulasi maksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, karena yang dimaksud dengan istilah “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah pemilihan umum DPR dan DPRD yang pesertanya adalah partai politik sebagaimana dimaksud norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945;

8. Bahwa sejatinya, dengan memahami konteks frasa “sebelum Pemilihan Umum dilaksanakan” yang dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diterangkan dalam angka 7 di atas adalah pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota DPR dan DPRD yang pesertanya adalah partai politik, maka pengaturan tentang adanya “presidential threshold” dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah sesuatu yang samasekali tidak mempunyai pijakan konstitusional serta penalaran yang logis, karena, bagaimanakah orang bisa mengetahui adanya prosentase tertentu yang diperoleh oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, kalau pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD belum dilaksanakan?;

9. Bahwa pengaturan adanya “presidential threshold” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dianggap sebagai “legal policy” yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, dengan dalil ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Pengaturan lebih lanjut di dalam undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, dalam hal ini Presiden dan DPR, tidaklah dapat menyimpang dari maksud yang nyata dari sebuah norma yang telah tegas diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Apalagi dalam konteks Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang lebih spesifik dibandingkan dengan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD, ketentuan Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 membatasi pengaturan pada tingkat undang-undang itu hanya sejauh mengenai “tatacara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden”. Penentuan adanya “presidential threshold” menurut hemat Pemohon, bukan lagi berada di tataran “tatacara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden” melainkan sesuatu yang berakitan secara langsung dengan demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta prinsip kesetaraan partai-partai politik yang seharusnya tidak dapat dibeda-bedakan satu dengan yang lain di dalam sistem yang demokratis;

10. Bahwa berdasarkan uraian dalam angka 9 di atas, Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi telah salah dalam membuat pertimbangan hukum terkait dengan “presidential threshold” dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 23 Januari 2014. Dalam halaman 75 sampai halaman 84 putusan mahkamah a quo, mahkamah di satu pihak mengemukakan pendapat bahwa pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden harus disatukan dengan mempertimbangkan original intent pembentuk undang-undang dan berbagai metode penafsiran, namun di lain pihak mengatakan bahwa “Adapun mengenai pengujian konstitusionalitas pasal 9 UU 42/2008, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dalam pemilihan umum secara serentak maka ketentuan pasal persyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang dengan tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945”. Dengan diterimanya penyelenggaraan Pemilihan Umum serentak untuk DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, maka ketentuan “presidential threshold” sebagai syarat bagi partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden telah gugur dengan sendirinya, dan sebagai konsekuensinya Mahkamah haruslah menyatakan bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

11. Bahwa konkordans dengan argumentasi dalam angka 6 sampai dengan 10 di atas, maka norma Pasal 14 ayat (2) UU Pemilihan Presiden yang normanya berbunyi: “Masa pendaftaran (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR” adalah juga bertentangan dengan frasa partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana dirumuskan dalam norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kalau partai politik atau gabungan partai politik baru diperkenankan mendaftarkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden paling lama 7 (tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, maka pada saat itu partai politik atau gabungan partai politik tersebut bukanlah lagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, karena pemilihan umum yang pesertanya adalah partai politik telah selesai. Kalau hasil pemilihan umum sudah ditetapkan, maka partai politik tersebut bukan lagi partai politik peserta pemilihan umum. Partai politik tersebut lebih tepat untuk disebut partai politik “mantan” peserta pemilihan umum yang sudah selesai dilaksanakan;

12. Bahwa proses pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah diuraikan di atas, semuanya terkait dengan sistem pemerintahan menurut UUD 1945. Dengan merujuk pada norma Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” dan norma Pasal 7C yang menyatakan “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”, maka Pemohon dapat menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial dan bukan sistem pemerintahan parlementer. Meskipun terdapat banyak varian dari kedua sistem ini, namun secara garis besar dapat dikatakan sistem pemerintahan yang ada di dunia ini, di luar sistem monarki absolut, adalah sistem presidensial dan parlementer;

13. Bahwa dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan presidensial, UUD 1945 tidak memberikan pengaturan yang khusus tentang jadual pemilihan umum untuk mengisi lembaga-lembaga negara yang memerlukan pemilihan umum untuk mengisinya sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Norma pasal ini menyebutkan bahwa ada empat jenis pemilihan umum, yakni (1) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; (2) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; (3) pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; dan (4) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah. Tidak ada istilah pemilihan umum yang digunakan oleh UUD 1945 selain untuk mengisi jabatan keempat lembaga negara tersebut. Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah urutan penyelenggaraan pemilihan umum antara pemilihan umum eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) disatu pihak dengan pemilihan umum legislatif (DPR, DPRD dan DPD)?;

14. Bahwa UUD 1945 ternyata tidak memberikan pengaturan eksplisit tentang urutan penyelenggaraan pemilihan umum antara keempat lembaga negara sebagaimana diuraikan dalam angka 9 dan 10 di atas, yang dapat disederhanakan menjadi pemilihan umum eksekutif dan pemilihan umum legislatif. Namun, kalau kita melakukan perbandingan konstitusi dan perbandingan sistem pemerintahan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam sistem parlementer, maka pemilihan yang lebih dulu diselenggarakan adalah memilih anggota-anggota parlemen. Selesai pemilihan umum parlemen, maka akan diketahui partai manakah atau koalisi partai manakah yang memperoleh kursi mayoritas di parlemen. Partai atau koalisi partai itulah yang akan mengajukan calon Perdana Menteri kepada kepala negara. Ini terjadi pada semua sistem parlementer, termasuk sistem parlementer yang pernah dipraktikkan di negara kita di bawah UUD Sementara 1950 pasca Pemilihan Umum 1955;

15. Bahwa sebaliknya, dalam sistem pemerintahan presidensial di negara-negara yang menganutnya, maka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah lebih dulu diselenggarakan, baru kemudian memilih badan-badan perwakilan. Ini terjadi di Amerika Serikat, Perancis, Mesir, Iran dan negara-negara Amerika Latin. Hanya Republik Philipina yang menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan anggota congress dan senat dilakukan serentak pada hari yang sama. Bahkan negara ini juga menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Walikota serentak bersamaan dengan Pemilu Presiden, Senat dan DPR;

16. Bahwa dengan demikian, sesuai uraian dalam angka 13 di atas, tidak terdapat alasan konstitusional apapun untuk menyelenggarakan dua kali pemilihan umum secara terpisah dalam lima tahun, yakni pertama pemilihan DPR,DPRD dan DPD, dan kedua disusul dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Tafsir yang paling mungkin untuk memahami maksud Pasal 22E ayat (1) dan (2) dikaitkan dengan sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C Undang-Undang Dasar 1945 maksud pasal ini, penyelenggaraan pemilihan umum DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan serempak satu kali saja dalam lima tahun. Penafsiran seperti ini sejalan dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945, dan saat ini satu-satunya negara yang melaksanakannya hanyalah Republik Philipina. Melaksanakan pemilihan badan-badan legislatif (DPR, DPRD dan DPD) lebih dulu baru kemudian memlilih badan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) adalah bertentangan dengan sistem presidensial sebagaimana diatur dalam norma Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945;

17. Meskipun UUD 1945 tidak secara spesifik mengatur manakah pemilihan umum yang diselenggarakan lebih dahulu, badan legislatif (DPR, DPRD dan DPD) ataukah badan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), namun kalau dibaca dengan seksama norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Jadi, tidak akan ada dua kali atau tiga kali atau lebih pemilihan umum dalam lima tahun, kecuali hanya satu kali saja. Sedangkan ayat (2) Pasal 22E itu menyatakan dalam satu nafas “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”. Secara sistematik kedua ayat dalam Pasal 22E itu menunjukkan bahwa pemilihan umum hanya diadakan satu kali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 telah mengambil sikap dalam pertimbangan hukumnya bahwa Pemilihan Umum memang harus dilaksanakan satu kali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPRD. Namun pendapat Mahkamah tersebut belum dituangkan di dalam diktum putusan, dan juga memang tidak dimohon secara tegas dalam petitum permohonan Pemohon, walaupun diuraikan di dalam permohonannya;

18. Bahwa norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD”; dan “Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”,dan “Masa pendaftaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”, dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabulaten/kota,” seluruhnya adalah bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) dan 22E ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan (4) UUD 1945;

19. Bahwa perumusan norma “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD”. “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”; dan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; dan “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidaklah sungguh-sungguh dimaksudkan untuk melaksanakan atau menegakkan norma-norma konstitusi, sebagaimana layaknya sebuah negara hukum yang berlandaskan UUD 1945. Rumusan norma-norma tersebut hanya untuk mewujudkan keinginan dari kekuatan yang dominan pengaruhnya di Dewan Perwakilan Rakyat serta Presiden yang memegang jabatan saat itu ketika undang-undang tersebut dibuat, untuk menghalang-halangi munculnya calon Presiden dan Wakil Presiden dari kekuatan saingannya dengan cara yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, yang sesungguhnya dijamin oleh Pasal 27 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

20. Bahwa dalam Pemilihan Umum 2014 yang akan datang, partai politik peserta pemilihan umum yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terdiri atas 12 (dua belas) partai politik yang bertarung di tingkat nasional, dan 3 (tiga) partai lokal yang hanya bertarung dalam pemilihan umum di Aceh. Dengan kenyataan ini, maka kekhawatiran calon Presiden dan Wakil Presiden akan terlalu banyak, sehingga harus dibatasi dengan “presidential threshold” 20 persen atau 25 persen suara sah nasional, menjadi kehilangan relevansinya. Seandainya semua partai politik peserta Pemilihan Umum 2014 masing-masing mengajukan satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, maka paling banyak calon yang akan bertarung adalah 12 (dua belas) calon. Dibanding jumlah pasangan calon dalam pemilihan umum kepala daerah, menurut hemat Pemohon, jumlah itu masih dapat diterima;

21. Pemilihan Walikota Makassar tahun 2013 diikuti oleh 10 (sepuluh) pasangan calon. Pemilihan Bupati Kabupaten Deli Serdang tahun 2013 diikuti oleh 11 (sebelas) pasangan calon. Jadi, kalau pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diikuti oleh 12 (dua belas) pasangan calon, hal itu menurut hemat Pemohon, adalah berada dalam batas-batas yang wajar. Penafsiran konstitusi haruslah dinamis. Penafsiran atas teks-teks konstitusi haruslah mempertimbangkan ratio legis (asbabul wurud) dirumuskannya sebuah norma. Begitu pula putusan Mahkamah Konstitusi, yang di masa lalu menafsirkan adanya “presidential threshlod” tidak bertentangan dengan norma UUD 1945 bukanlah sebuah tafsir absolut atas konstitusi. Kaidah fiqh sebagaimana dirumuskan Imam Asy-Syatibi mengatakan bahwa “pembentukan norma hukum tergantung kepada sebab-sebab (illat) yang melahirkannya. Jika illat berubah, maka norma, atau setidaknya penafsiran terhadap norma harus pula berubah”. Kalau tidak, maka yang terjadi adalah kejumudan belaka. Dalam beberapa putusan mahkamah, dan terakhir dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 Mahkamah telah pula mengambil sikap demikian;

22. Bahwa Mahkamah Konstitusi, yang berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, dalam berbagai pertimbangan hukum putusannya ternyata telah menyebut dirinya sebagai “the sole interpreter of the constitution” atau “penafsir tunggal konstitusi”. Terkait dengan permohonan ini, maka Pemohon memohon sudilah kiranya Mahkamah menafsirkan apakah sesungguhnya maksud teks norma dalam Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diatur oleh norma Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

23. Bahwa Pemohon dengan sengaja memohon kepada Mahkamah untuk menafsirkan secara langsung makna Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945, setelah lebih dulu menyatakan bahwa pasal-pasal Pasal 3 ayat (5), Pasal 9 Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, adalah semata-mata untuk mengatasi adanya kevakuman hukum, jika seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon ini. Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang MK “memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum”. Sementara pelaksanaan Pemilihan Umum untuk anggota DPR, DPD dan DPRD sudah dijadualkan oleh KPU akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden akan dilaksanakan pada bulan Juli 2014. Kevakuman hukum itu tidak mungkin dapat diatasi dengan menunggu pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk merubah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sekiranya permohonan ini dikabulkan, kecuali Presiden mempunyai keberanian untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

24. Bahwa jika seandainya Mahkamah mengabulkan Petitum Pemohon dengan menafsirkan maksud Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka pembentuk undang-undang tidak perlu lagi mengubah pasal-pasal Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang diuji ini –sekiranya dikabulkan– karena tafsir Mahkamah atas norma Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) langsung dapat dilaksanakan oleh KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum dalam Pemilihan Umum tahun 2014 ini juga;

25. Bahwa Pemohon berpendapat, sesuai ketentuan Pasal 47 Undang-Undang MK, putusan Mahkamah mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Ini bermakna, putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum serta merta dan tidak dapat digantungkan kepada sesuatu yang lain, termasuk menggantungkannya pada waktu kapan diktum putusan itu baru berlaku. Inilah sesungguhnya esensi perbedaan antara norma hukum dalam suatu peraturan perundangan-undangan dengan putusan pengadilan. Norma peraturan perundang-undangan sangat mungkin menyatakan bahwa peraturan tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian baru berlaku pada tanggal tertentu jauh setelah peraturan itu disahkan dan/atau diundangkan. Putusan pengadilan berlaku serta merta. Dalam perkara pidana, tidak mungkin hakim menjatuhkan putusan pidana bersalah kepada seorang Bupati yang menjadi terdakwa kejahatan korupsi, tetapi putusan itu baru berlaku 5 (lima) tahun kemudian, sehingga dalam tenggang waktu 5 (lima) tahun itu terpidana itu tetap bebas tanpa harus menjalani pidana dan tetap menjalankan tugasnya sebagai Bupati. Demikian pula putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu norma undang-undang bertentangan dengan norma Undang-Undang Dasar 1945 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tidaklah dapat digantungkan berlakunya pada waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun dengan mengemukakan alasan-alasan yang bersifat teknis yang berada di luar jangkauan kewenangan Mahkamah Konstitusi, sementara selama 5 tahun itu Mahkamah seolah membiarkan praktik penyelenggaraan negara didasarkan atas norma undang-undang yang Mahkamah sendiri telah menyatakannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan telah pula menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;

26. Bahwa berdasarkan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945, Pemilihan Umum dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Oleh karena itu, jika Mahkamah ragu-ragu apakah putusannya terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum dapat dilaksanakan atau tidak, terhambat pada masalah waktu yang sempit atau tidak, maka adalah fair jika Mahkamah memanggil Komisi Pemilihan Umum untuk dimintai keterangannya di dalam sidang. Sangatlah aneh jika dalam petimbangan hukum Mahkamah, seperti dibaca dalam halaman 85 Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang seolah-olah “tahapan Pemilihan Umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat” sementara KPU sendiri dalam berbagai pemberitaan media massa mengatakan siap melaksanakan apapun yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi(Bukti P-6A; Bukti P-6B; Bukti P-6C; Bukti P-6D).

IV. PERMOHONAN TIDAK NE BIS IN IDEM

1. Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana telah dikemukakan dalam angka I sampai dengan III di atas, maka sebelum sampai kepada Kesimpulan permohonan ini, Pemohon ingin menegaskan bahwa sebelum mengajukan permohonan ini, Pemohon telah melakukan telaah terhadap permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang telah dimohon sebelumnya kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon dalam permohonan ini memohon Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN 4924) terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Sementara sebelumnya, Mahkamah telah menguji Pasal 3 ayat (5), Pasal 9 dan Pasal 14 Undang-Undang a quo sebagaimana telah diputus dalam Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 tanggal 17 Januari 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tanggal 18 Pebruari 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VII/2009 tanggal 14 September 2009 yang pada pokoknya menguji norma undang-undang tersebut dengan norma Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Terakhir sekali, Pemohon juga telah membaca dengan seksama Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang dimohon oleh Saudara Effendi Ghazali dan baru diucapkan tanggal 23 Januari 2014 yang menguji norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang a quo terhadap norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan perbandingan ini, jelaslah kiranya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang dimohonkan uji serta batu ujinya yakni norma pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, di samping ada yang sama, ada pula yang berbeda. Namun argumentasi konstitusional yang Pemohon ajukan serta Petitum permohonan, juga terdapat perbedaan-perbedaan;

3. Bahwa norma Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, menyatakan: “(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan: “(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali; (2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda”;

4. Bahwa berdasarkan uraian-uraian dalam angka 1 sampai 3 di atas, Pemohon berpendapat bahwa permohonan pengujian pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan batu uji yang digunakan dalam Undang-Undang Dasar 1945, serta argumentasi konstitusional yang dijadikan alasan adalah berbeda dengan pengujian-pengujian sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Atas dasar itu, maka Pemohon menyatakan tidak terdapat alasan apapun untuk mengatakan bahwa permohonan Pemohon ini adalah ne bis in idem dengan permohonan-permohonan sebelumnya.

V. KESIMPULAN

Dari uraian-uraian sebagaimana telah dikemukakan dalam angka I, II, III, dan IV di atas, maka sampailah Pemohon kepada kesimpulan dari permohonan ini yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Pemohon memohon Mahkamah Konstitusi untuk menguji norma undang-undang sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap norma konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945;

2. Berdasarkan norma yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final;

3. Permohonan Pemohon untuk menguji Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam perkara ini tidak bersifat ne bis in idemdengan perkara-perkara sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi;

4. Pemohon adalah persorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak konstitusional, yang diberikan oleh Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yakni hak untuk dicalonkan sebagai calon Presiden Republik Indonesia, yang selanjutnya pelaksanaan hak konstitusional tersebut diatur dalam Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hak-hak konstitusional tersebut tata cara pelaksanaannya nyata-nyata telah dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;

5. Berdasarkan berbagai argumentasi yuridis dan konstitusional yang telah Pemohon kemukakan dalam uraian-uraian dalam Angka III di atas, Pemohon berkesimpulan bahwa norma undang-undang yang diatur dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 dan karena itu terdapat alasan yang cukup bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pasal dimaksud bertentangan dengan UUD 1945, dan sekaligus menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;

6. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi sebagai “the sole interpreter of the constitution” sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menafsirkan UUD 1945, kiranya dapat memberikan penafsiran terhadap maksud dari norma-norma yang termuat di dalam Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;

7. Penafsiran oleh Mahkamah Konstitusi atas norma Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dikaitkan dengan sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana diatur oleh norma Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945 diharapkan akan menghasilkan tafsir yang otoritatif dari para hakim yang merupakan “negarawan yang memahami konstitusi” bukan tafsir para legislator di DPR dan Presiden yang terkadang bias dalam menafsirkan norma konstitusi ke dalam undang-undang karena berbagai kepentingan politik yang melatarbelakanginya.

VIPETITUM

Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana telah dikemukakan dalam keseluruhan isi permohonan ini, maka izinkanlah Pemohon untuk memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk lebih dulu menyatakan bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ini, dan memutuskan hal-hal sebagai berikut:

1. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No. 176, TLN 4924), bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No. 176, TLN 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;

3. Menyatakan bahwa maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem presidensial. Apabila dikaitkan dengan sistem ini, maka maksud frasa dalam norma Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yakni pemilihan umum dilaksanakan “setiap lima tahun sekali” untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah pemilihan umum itu dilakukan serentak dalam waktu yang bersamaan;

4. Menyatakan bahwa maksud Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum adalah berhak untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik, yakni Pemilihan Umum DPR dan DPRD;

5. Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

HORMAT PEMOHON

Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline