Lihat ke Halaman Asli

Saatnya MK Melangkah ke Arah Substansial

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlampir saya tempelkan keteranga yang saya sampaikan sebagai Ahli pada sidang di Mahkamah Konstitusi hari ini, Jum'at (15/08/2014). Karena banyak tanggapan yang simpang-siur atas apa yang saya sampaikan itu, semoga penulisan utuh atas Keterangan Ahli yang saya sampaikan bermanfaat!


PENDAPAT AHLI DALAM PERKARA PHPU PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

DI MAHKAMAH KONSTITUSI, 15 AGUSTUS 2014

oleh

Prof. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.


Norma Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 telah dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan, dalam perspektif hukum tatanegara, diartikan sebagai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam sebuah Negara.

Dalam hal menentukan siapakah yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden di Negara ini, Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dengan demikian, rakyatlah, yang memenuhi persyaratan undang-undang yang berwenang menentukan siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden mereka.


Mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menentukan pilihannya itu diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, yakni melalui suatu pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sementara, organ yang melaksanakan pemilihan umum itu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Karena itu, maka pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam wujud menentukan siapa yang akan menjadi Presiden dna Wakil Presiden dalam kurun waktu 5 (lima) tahun bukanlah sekedar persoalan norma hukum yang biasa, tetapi berkaitan langsung dengan norma konstitusi.

Dengan kata lain, persoalan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden adalah persoalan konstitusi. Karena itulah, jika timbul perselisihan antara para pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden, maka lembaga yang berwenang memutus perkara tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adalah Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketika menyusun UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dalam keadaan waktu yang amat terdesak, para pembuat undang-undang berupaya untuk menyederhanakan kewenangan MK dalam memutus sengketa atau “perselisihan hasil pemilihan umum” menjadi semata-mata perselisihan yang terkait dengan perhitungan suara antara yang diumumkan KPU dengan perhitungan suara yang benar menurut Pemohon.

Kalau hanya ini kewenangan MK, maka mendekati kebenaran kiranya apa yang dikatakan oleh Sdr. Dr. Margarito Kamis bahwa MK hanya menjadi lembaga kalkulator dalam menyelesaikan perselisihan, karena hanya terkait dengan angka-angka perhitungan suara belaka, walaupun dalam perkembangannya MK menciptakan yurisprudensi menilai perolehan suara itu apakah dilakukan dengan atau tanpa pelanggaran yang dilakukan secara sistematik, terstruktur dan massif atau tidak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline