Adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) nomer 11 tahun 2020 sangat berpengaruh pada penataan pengaturan di Indonesia. UU Ciptaker ini menggunakan konsep omnibus law yang mana merupakan bentuk penyederhanaan peraturan dengan merevisi dan mencabut beberapa undang-undang sekaligus. Konsep tersebut merupakan solusi dari masalah yang muncul karena sering terdapat tumpang tindih pengaturan serta adanya fenomena over regulation.
Dalam UU cipta kerja ini terdapat pengaturan yang cenderung mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan juga kelestarian alam. Beberapa diantaranya yakni;
pertama, mengenai simplifikasi perizinan yang mana konsep izin lingkungan ini menjadi persetujuan lingkungan yang menghapuskan gugatan administrasi lewat pengadilan jika terjadi pelanggaran. Mengenai simplifikasi perizinan ini diatur dalam UU cipta kerja yang mengubah nomenklatur izin lingkungan dalam UUPPLH menjadi persetujuan lingkungan yang menjadi persyaratan penerbitan perizinan berusaha.
Kedua, UU cipta kerja telah merubah ketentuan pasal 25 huruf c tentang berkas yang harus ada dalam AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Salah satu dokumen yang dirubah yaitu, mengenai saran, masukan, dan tanggapan dari masyarakat.
Didalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) diatur bahwa dokumen Amdal salah satunya harus memuat saran, masukan, serta tanggapan masyarakat terdampak langsung yang relevan terdapat rencana usaha atau kegiatan, sedangkan didalam UU cipta kerja saran, masukan dan tanggapan dari masyarakat tidak harus masyarakat yang terkena dampak langsung.
Ketiga, UU cipta kerja tidak hanya mengubah ketentuan Pasal 25 huruf c, akan tetapi juga menghapus ketentuan mengenai mekanisme keberatan atas Amdal yang mana dalam UU PPLH menyediakan ruang bagi masyarakat yang keberatan dengan dokumen Amdal untuk dapat mengajukan keberatan atau upaya hukum, sedangkan didalam UU cipta kerja sendiri tidak mengatur mengenai hal tersebut.
Dihapusnya mekanisme ini menimbulkan perdebatan dimasyarakat karena mekanisme ini dianggap vital untuk memastikan kelestarian lingkungan terutama menjaga agar dokumen Amdal tidak dibuat sembarangan atau hanya sekedar formalitas saja.
Tidak hanya dihapusnya mengenai mekanisme keberatan atas Amdal yang menimbulkan perdebatan, ada juga pasal yang menimbulkan perdebatan yakni, dihapusnya pasal mengenai kewajiban atas lingkungan yang mana dalam UU cipta kerja izin lingkungan tidak diatur secara tegas.
UU cipta kerja merubah ketentuan dalam UU PPLH mengenai Amdal dan izin lingkungan yang dianggap oleh para aktivis lingkungan sebagai pelemahan yang bisa mengancam kelestarian alam, dan tidak hanya itu ada juga kekhawatiran dengan dirubahnya aturan ini yang berpotensi gampangnya menerbitkan Amdal yang "Abal Abal" karena proses penerbitan Amdal tidak ada kontrol dari masyarakat. Padahal partisipasi masyarakat menjadi ruh dalam penerbitan Amdal.
Keempat, dirubahnya definisi strict liability dalam pasal 88 UU PPLH, yang mana awalnya "bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan" berubah menjadi "bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya".
Di dalam pasal 501 ayat (1) Jo. Pasal 500 ayat (3) PP 22/21 menyatakan bahwa pembuktian pertanggung jawaban mutlak bagian dari penegak hukum perdata yang dilakukan apabila hasil kesimpulan laporan hasil pengawasan pejabat pengawas lingkungan hidup menyatakan pelaku usaha tersebut tidak taat. Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip strict liability sebagai bagian dari strict liability based on fault. Karena didalam PP 22/21 justru mengindikasikan strict liability hanya dapat dilakukan jika pengawasan sudah menemukan ketidaktaatan yang mana perlu ada pembuktian unsur kesalahan.