Lihat ke Halaman Asli

Ukiran Rindu di Sukmaku

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin dirinya tak butuh lagi. Lirihku dalam hati, sesaat setelah melihat telepon genggamku yang tak kunjung berdering sedari tadi.

***

Malam ini dan malam sebelumnya tetap seperti biasa. Aku lebih sering duduk diteras rumah depan sembari memandang bintang di langit. Itu karena musim hujan telah berlalu.

Suasana dingin malam itu sama sekali tak memecah lamunanku. Lamunan saat indah menunggu sebuah pesan singkat, atau sekedar deringan telepon yang tak mungkin kuangkat.

“Kak Citra, dingin di luar. Sini masuk, nanti sakit,” tegur Linda, junior yang tinggal satu kamar denganku.

“Iya, Dek, bentar.” Jawabku siang.

Memang tak mudah melupakan kesalahan. Apalagi kesalahan itu telah berulang untuk kesekian kalinya. Aku tahu aku salah.dan aku tahu sudah saatnya aku berhenti atau aku harus selesai. Tapi, entah kenapa aku malah menunggu pesan singkat, malahan harapanku di ujung gunung tertinggi. Ini rindu, nafsu, atau kebodohan semata. Itu pilihan jawaban yang tepat. Ketiganya tepat Tuhan.

***

“Besok kita harus bertemu!” Fino, pria kelima yang kutemui diujung akhir studiku.

“Tidak bisa, aku sibuk!” Jawabku mengelak.

“Kamu itu tak bisa atau sengaja tak mau tahu!”

“Benar, aku betul-betul tak bisa, ada hal penting yang harus kukerjakan. Ibu, juga melarangku pergi ke kota besok. Mungkin lusa atau dua hari kedepan. Sabarlah,”

“Baiklah, terserahmu!”Telepon ia tutup seenaknya, tanpa kata salam penutup yang dulu dan biasa ia lontarkan.

Itu kali kesekian dia mulai marah padaku. Enam bulan semenjak kumemutuskan untuk menenangkan hatiku pada sandaran hatinya. Aku masih susah mengungkapkan keterbatasanku. Iya, aku terbatas finansial. Aku terbatas keuangan. Intinya aku tak punya uang ke kota besok. Hanya untuk bertemu kau. Yang coba kujadikan perbaringan hatiku.

***

“Mana Citra?”

“Iya kak, ini di dalam kamar,” kucongakkan mukaku menyapa Rimba. Kak Rimba, pria yang kukenal baik hati.

“Bagaimana kabarmu Dek, keluar dulu. Kita cerita-cerita sedikit,”

“Cerita apalagi kak, semua sudah terungkap,”candaku padanya. Aku pun keluar dari kamar berukuran 3x3 meter itu. Kedatanganku sepertinya memberikan pandangan segar bagi pria di sampingnya. Fino. Ini kali pertama ku mengenal dia. Pria yang santer jadi bahan cerita teman satu kosku.

“Oh, ini yah yang namanya Citra,” Fino, yah fino berkata demikian setelah melihatku.

“Iya, sini Dek duduk. Bagaimana di kampus?”

“Yah, begitulah kak Rimba, masih aman, semuanya pokoknya aman,”

“O, iya ini temanku Dek, Fino,jurusan Sosial Politik,’

“Iya, hmm, Sospol ya, kenal kak Andika?”

“Ohh, Kak Andika yang ketua Bakat Seni kan?”

“Heem,”

“Iya dong, sapa yang tidak kenal dia, lumayan dekat aku dengannya,coba saja kamu tanya, bilang saja kenal Fino Cibol, Gak”

“Okelah..”

***

Dua hari kemudian, dia datang lagi. Kali ini tak bersama Kak Rimba. Sendiri. Dia sangat akrab dengan teman satu kosku. Menurutku itu tak akan jadi masalah, toh setiap dia datang. Aku pergi. Alasan kupergi karena gossip tak nyaman menyeret telingaku. Aku dan dirinya dikira dekat. Dia suka padaku. Itu yang kutahu. Dan cukup! Cukup kisah cintaku kandas dengan Dimas, dua bulan bersamanya membuatku kesal. Delapan bulan tanpa kekasih membuatku sudah sangat terbiasa. Dan cukup.

Itu yang terpikir sebelum goresan itu menyentuh perasaanku.

***

Dua bulan, pertemuan demi pertemuan terjadi. Pesan demi pesan ia kirim. Telepon demi telepon berdering. Dan hari demi hari seakan menyesakkan. Itu perasaan.

“Bosanka ketemu dengan kamu!”cerutuku

“Saya juga!”

“Lalu?”

“Rindu saja, jika tak melihat lubang kecil dekat bibirmu itu,” Huuuufff, kata sederhana tapi menenangkan hati, namun tak mungkin kuekspresikan muka malu-malu mau depannya. Gengsi dong.

“Omong kosong, eh kenapa itu lengan kau plaster?”

“Oh, ini cedera atlet, maklum pemain basket biasa lengannya lecet.”

“Nyambung dimana, Fino oon!”

“Lah, nyambunglah, yang tidak punya bakat, badan kecil, cerewet, dan tak tahu malu, mana tahu soal cedera!”

“Uhhh, dasar sombong!”

“Begitu saja sewot,” Ujarnya sambil mengocak rambutku. Ini yang buatku ingat.

Gossip semakin kuat, aku juga dengan kebaikan hati yang tulus selalu saja dekat dengannya. Mulai dari sekedar saling pinjam laptoplah, temani ke toko bajulah, taruhan soal bola, sampai akhirnya nonton bareng bioskop. Semuanya terjadi secara natural. Makan bareng dan jalan ke pantai serasa hal yang biasa bagi kami. Walau itu tanpa status yang pasti. Kami teman, lebih tepatnya sih teman yang kugantung. Sebulan kemarin setelah dirinya mengungkapkan perasaannya. Aku tolak mentah-mentah dengan alasan, aku dan dia teman. Itu saja.

***

Jika harus mengutuk. Aku akan mengutuk film korea. Rabu malam aku baru saja jalan dengannya. Aku bertemu adik perempuannya, untuk sekedar menemani mengenal kota Kendari. Iya, kami tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara. Baru mengenal, aku dan adiknya Fina sudah terlalu akrab. Yah keakraban melebih dari adikku sendiri. Mungkin karena dia adik seorang pria yang saat itu dekat denganku.

Telepon genggam Fino,terlupa di tasku. Terpaksa malam itu, aku tak menerima pesan singkat darinya. Hanya malam itu. Sejak ia tahu nomor telepon genggamku.

Tak bermaksud, tapi aku sangat ingin. Setelah menonton film korea romantik, menyedihkan dan mengharukan. Inilah karakteristik film korea yang ingin kukutuk. Aku membuka file foto. Melihat satu demi satu foto, membuka file demi file. Sembari tersenyum. Dia itu dia. Foto dia. Hingga kumenemukan satu foto. Darah yang terukir dari sebuah nama klasik yang tak asing. Darah itu meleleh dari lengan atas. Ukiran yang tertulis dari sebuah nama. Nama yang tak aasing. Citra.

***

Dadaku pun semakin sesak. Bukan soal darah, ini soal tutup mulut. Ia menyembunyikan sakit diantara degub nafsu yang ia tahan. Ia ingin diriku. Mengapa tidak, ia sampaikan saja, atau tidak dia perlihatkan padaku. Atau mengapa tidak, dia buat skenario yang bisa membuatku tahu. Tak perlu menunggu. Ini sudah sebulan dia mnyembunyikannya. Rabu malam itu, aku luluh karena diam itu. Aku luluh. Mungkin kali ini keluluhanku didukung film korea yang baru saja ku nonton.

“Citra, Ada Fino”

“Ohhh, iya tunggu,” kuberlari keluar rumah sambil mengusap air mataku.

“Hapeku mana?”

“Ohh… iya tunggu”

Kuambil telepon genggam berwara hitam itu. Dalam piker dalam inginku berkkecamuk. Aku harus bilang. Aku harus mau. Aku harus bilang iya.

“Ini,”kuserahkan teepon genggam itu. “Fin, Tak perlu kau menunggu lagi, sudah cukup.”

“Maksudmu?”

“Iya, kau tak perlu lagi menunggu.”, Ia pergi seenaknya. Ia tak berkata satu kata pun. Tanpa salam penutup yang biasa ia lontarkan.

Aku takut, diam, dan sakit hati.

***

Pesan singkat berdering beberapa jam kemudian. Fino Cibol.

“Besok pagi-pagi kita harus ketemu. Tunggu aku, depan lorongmu pukul 06.00”

Itu saja. Tanpa kubalas. Aku bingung.

***

Pelukan aku sandarkan setiap bertemu dirinya. Cium hangat aku serahkan setiap bertemu dia. Dan nafsuku membara saat merengkuh dipelukan dadanya. Ia menenggelamku. Sejak pukul 06.00.

Tabrakan. Sekujur tubuhnya penuh luka. Itu karena diriku. Aku dengan seenaknya memutuskan tali cintaku dengannya. Baru dua bulan kami bersama aku sudah tak tahan dengan overprotected yang ia lakukan. Tapi, lagi-lagi bagai tali yang mudah disambung, kami kembali menyatu.

Cemburu. Lagak sombong ia sampaikan saat ia dekat dengan seorang wanita. Api cemburu membara dalam diriku. Aku pergi ke kota hanya untuk bertemu dirinya. Sial, pelukan pertama malah ia dapatkan setelah itu.

Khawatir. Tanpa ia duga. Aku mampu melintasi gunung tertinggi di Kendari. Ia khawatir. Sangat khawatir. Dan kuyakin juga cemburu. Ini karena kupergi bersama lelaki yang tak dikenalnya. Sial, sepulangku malah kudapat ciuman dari dirinya.

***

“Bagaimana keadaanmu? Dirawat di kamar apa?”

“tenanglah, aku sudah sehat, kok”

“Ibu, sudah bereskan barangku, kita bertemu di rumah ya bentar”

“Iya”

***

Bayang-bayang dirinya seakan menelusuk di setiap darah yang mengalir. Malam itu, kubersama dirinya hingga dini hari. Sukmaku direbutnya karena pengorbanan yang ia lakukan. Kecelakan yang hampir merenggut nyawanya hanya karena ingin menjemputku, dan terbalaskan di malam itu. Aku kehilangan Sukmaku.

***

Dan aku terdiam di teras. Pesan singkat yang kutunggu tak lagi datang malam itu.

“Kak, Citra. Bisa tidak Linda nanya sesuatu?” Linda menghampiriku

“Apa sayang,?

“berpisah itu sakit ya Kak?”

“Sabar Adek sayang”

“Mama tadi bertemu dia lagi, Kak Cit,”

“Kapan?

“Tadi sore kak, Hm, Jangan marah ya, aku lihat sesuatu di Box kakak”

“Apa?” Suaraku meninggi

“Maaf kak, aku tak sengaja. Ini foto Kak Lind kan dengan dia,”

“Jangan salah paham Lin”

“Iya, Kak Fino kan?”

“Aku rindu punya kakak laki-laki kak”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline