Lihat ke Halaman Asli

Memeluk Bulan

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Jika kau dewasa, kau akan mengerti!”

“Iya, maaf. Ku tahu, kau tidak percaya lagi”

“Bukan itu!”

“Lalu, apa?”

“Kau mulai kusuka. Paham! Jangan salahkan jika kuharus menghindar sebelum n setelah ini. Maaf!,”

“Iya”  jawabku sambil beranjak dari tatapannya. Langkah itu pun kusadari akan terasa berat. Tak ada lagi kopi setengah matang, terlalu manis, pahit, dan tak ada lagi malam selanjutnya. Sampai malam itu saja.

***

Cucuran keringat berlari menyekat tubuh ini. Jantung berdegub kencang lantaran telepon yang tak henti-hentinya berdering.

“Iya, Pak. Saya sudah menuju lokasi sekitar lima menit saya tiba,”
“Oke, Saya tunggu!”

Laju motor pun dipercepat. Sang kekasih tanpa ada protes sedikit pun , menggiring tubuh mungilku menuju gedung Amanagappa. Ya, tepat . ini gedung pembekalan sebelum tujuh hari berikutnya bergelut di kampung orang. Sidrap, kampung  yang terkenal dengan kondisi yang gersang menjadi lokasi pengabdianku.

Aku Berdiri lima baris dari depan. Setelah bertemu Pak bukhari, pak Tua yang sedari tadi menelponku. Nama terang, Dinda Kirani pun dipanggil. Aku maju. sengaja kumengambil baris di bagian agak belakang. Setidaknya beberapa orang akan melihat dekat wajah oriental ini saat berjalan menuju koridor paling depan.

Senyum lebar, spesial kali ini diberikan pak Rektor padaku sambil mengenakan jas Almamater. “ Semoga berhasil!” ini yang berbeda dari diriku. Pernah bergelut di dunia jurnalistik mengantarku bertemu beberapa sosok. Mulai dari yang duduk di kursi sofa hingga beralaskan rumput. Special bahkan sangat special. Buktinya, Pria bertahi lalat di bibir ini pun sempat-sempatnya berbisik padaku. Seperti sudah kenal lama, padahal baru beberapa bulan lalu ku mengolok-ngoloknya lewat pena.

Namun,dia tetap menjadi yang terbaik bagiku.teringat satu kalimat yang ia sampaikan di sambutan hari itu “Jangan memenjarakan cinta,” singkat, tapi luar biasa ungkapan pria separuh baya ini.

***

Minus dua hari sebelum pemberangkatan. Kekasih yang sudah pergi tadi pagi membuatku mesti sendiri berangkat menuju gedung itu lagi. Beberapa kursi mulai berjejer berpenghuni hamper 500 mahasiswa. Satu orang lelaki berumur 50-an sedari tadi mulai berbusa. Ia menyampaikan aturan main di lokasi pengabdian kami nanti akan dilempar. Dan seperti biasa aku akan duduk di bagian tengah. Tak ada yang mengenalku. Gadis mungil sepertiku tak tenar di kalangan mereka. Dan tak nafsu untuk mereka kenal. So, jawabannya cuek saja, toh aku kamu tak punya kepentingan.

***

Setelah dua jam berlalu duduk dikursi plastic akhirnya kami dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan kelurahan. Pandangan pertama saat tahu pembagian itu adalah menjengkelkan. Dani. Pria yang tak tahu malu berteriak memanggil namaku. Dan dengan lagak soknya mengaku-ngaku sebagai kekasihku. “Siapa Lo!” jawabku ketus. Dan enyah dari sikap ugal-ugalannya. Tidak lagi, semoga wajahnya terakhir kali kulihat. Benar, ini yang namanya keadilan Tuhan dan doa yang tak terkabulkan. Dani tepat satu kecamatan denganku. Untung saja, kami tidak satu posko. Setidaknya ledekannya tak membuat kuping ini panas.

***

Hari pemberangkatan akhirnya tiba. Bapak, Ibu, tante mengantar anak sulungnya menuju daerah telantang selama tiga bulan lamanya. Pukul 09.00 pagi bus tak kunjung berangkat.  Padahal sejak pukul 07.00 pagi aku beserta keluarga sudah menunggu. Dan benar, Dani penyebab utama. Pria ini lagi-lagi membuat onar. Dimas, koordinator kecamatan terpaksa beberapa kali menenangkan sopir bus yang sudah tak tahan lagi menunggu. Ponsel kuambil, kucari nama si brengsek itu, dapat. Kutelepon dengan sangat  terpaksa.

“Apa syang” tuturnya mengangkat telepon

“Eh, dasar lelet, jangan sok raja, kamu ditunggu lama sekali,”

“Tunggu syang, tidak sabaranmu.”

“Oke, Bus berangkat!” teriakku

“Eh… tunggu tunggu”!

“tuttttt….” Kumatikan telepon seenaknya

Dimas menghampiriku. “Apa kata kak Dani?” tanyanya dengan muka lemas lantaran ocehan sopir bus. “Oke kita berangkat, baru saja kutelepon katanya dia akan menyusul,” jawabku nyerocos. Dalam hati, terasa menang. Ini akibatnya jika orang sok arogan. Hati tentram.

***

Akhirnya Bus berangkat. Yah bus berwarna orange ini akhirnya melaju menuju Kota Sidrap,tepatnya kampong Sidrap.Ayah, ibu melambaikan tangan seakan puas anak sulungnya akhirnya pergi. Tak ada lagi yang membuatnya mesti menjadi burung berkicau setiap pagi. Good bye Dad and Mom.

Sesaat sebelum Bus berjalan, Ya benar. Dari belakang Dani melaju bersama motor kreoknya. “Pak Tunggu pak, tunggu”. Beo perkutut Datang. Ia dengan tas ranselnya naik ke bus dengan menggunakan kacamata hitam celana pendek dan kemeja hitam berkancing leher. Norak!

“Oy,  Dinda cepat sekali kau tutup teleponnya tadi,nice to meet you!”

Kupalingkan muka lalu kututup diriku dengan jas almamater. Anggap saja tak ada suara dan wujud serigala belang itu!

***

Pemandangan indah menuju lokasi menentramkan hati. Tak sabar rasanya menuju lokasi pengabdian. Bermimpi tak bertemu kesibukan, melainkan kesantaian. Target utama, berat naik lima kilo, perawatan, dan yang terpenting bebas dari sang pacar.

Sekitar 30 orang kami tiba di kantor kelurahan. Fani, kawan se jurusan sekaligus se-poskoku tepat disampingku mendengar arahan pak lurah. Fani termasuk gadis yang kuat di kampus. Tak ada yang tak bisa dia libas. Hmm, itu hanya penampilan luarnya saja, dalamnya, beeeuuuhhh, luar biasa manjanya. Bukti pertama, ayah dan ibu mengantar sampai lokasi tujuan, Sidrap. Mereka mengikut di belakang Bus. Ini baru orang tua. Ahhh, ibu dan bapak boro-boro ngantar, jenguk di sidrap pun tak pernah hingga penarikan. Bukti kedua, dari bantal sampai ketek bengek perawatan tersedia. Tidak enaknya saja kalau dia bawa seisi rumah ke lokasi. Sedangkan saya, satu koper berisi baju, satu lagi laptop dan satu lagi kantongan berisi buras dan ayam goreng. Anggap saja mau camping.

Kami dibagi menjadi empat kelompok tepatnya empat posko. Aku dan Fani bersama satu posko dengan Dimas. Tenang, tak satu posko Dani.

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline