Lihat ke Halaman Asli

Muridku Pernah Konferensi Pers

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nenek perak, awal topik yang menghubungkan kisah Dewi sebagai peran anak kecil layaknya sebuah sinetron. Saat itu, Kami tengah asyik berbincang soal Mid Fisika Senin esok. Namun jenuh, Ia mulai bercerita tentang kisahnya dengan seorang lelaki misterius, “Dulu itu kak ada langganan becakku, tapi waktu itu sakit perutnya,”katanya sembari memegang handphone. Daeng Muhlis, itulah namanya, seorang lelaki bertubuh tonjang yang sering mengantar Dewi ke sekolah. Hari itu, ia tak seperti sediakala. Mukanya pucat dan terlihat lebih kurus. “Neng, sakit perutku,”ungkapnya pada Dewi.Tak tega, Dewi yang masih bersekolah di bangku kelas satu SD itu, mengizinkan Daeng Muhlis untuk pulang. Alhasil, Dewi terpaksa berjalan kaki menuju sekolahnya.

Di perjalanan, seorang lelaki menghampiri Dewi. Tubuhnya hitam kelam. Ada sebuah anting-anting aluminium di telinga kirinya. Ia tersenyum menyapa Dewi,”De’, kamu yang anaknya Pak Zainuddin?” tanyanya dengan lembut. Dewi tersenyum lega, pikirnya ada yang mengenal dirinya,”Iya kak,”jawabnya polos. Melihat Dewi masih dalam keadaan berseragam pagi itu, ia berkata ingin mengajak anak kecil itu ke kantor bapaknya.”De saya antarki ke kantornya Bapak,”ajaknya. Tanpa pikir panjang Dewi pun pergi bersama lelaki itu.

Bunyi Handphone berbunyi, Ia pun membuka sebuah sms,”Egh, tunggu dulu kak, saya panaskan mobilnya kakak Arif, bentar dilanjut ceriyanya ya,”ujarnya. Aku menunggu sembari membayangkan rupa lelaki yang ia maksud. “Mungkin pria itu tak asing,” pikirku dalam hati. Bahkan analisis awalku berkata mungkin saja lelaki itu pernah bekerja dengan bapaknya Dewi. Lamunanku terbuyar, Dewi tiba-tiba datang setelah mencuci kaki di toilet kamarnya,”Saya lanjut ya kak, terus diajak naik pete-pete,” katanya sembari mengelap kakinya. Pete-pete, kendaraan umum yang biasa digunakan masyarakat Makassar ini, mengantarkannya ke Daerah Labuan Baji,”Jaman itu kak tiga kali ganti mobil,”jelasnya. Sesampainya di tempat tujuan, pria itu berkata, daerah tersebut rawan pencuri,”De’ lepas anting-antingnya banya pencuri disini,” pria itu pun melepasnya kemudian memasukkan anting-anting Dewi kesakunya. Ia pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Tak lama kemudian, Dewi merasa kehausan. “Kak haus ka,”keluhnya. Lelaki itu pun mengajak Dewi ke sebuah rumah. Lama, anak kecil itu menunggu. Ingin menangis, namun banyak orang di sekelilingnya,”Saya ingat betul kak, mau menangis tapi ditahan, padahal kalau di rumah, sakit sedikit saja pasti menangis,” jelasnya kepadaku dengan ekspresi sesal.Sekitar setengah jam lelaki itu muncul, lalu kembali mengajak dewi kesebuah rumah. Namun, kali ini lebih cepat dari rumah yang pertama.

Lagi, lelaki itu singgah di sebuah rumah, ini rumah yang ketiga. Di samping rumah itu ada sebuah warnet yang kini telah menjadi sebuah market kecil. Sampingnya lagi ada penjual gas elpiji. Lelaki itu masuk. Hampir satu jam lebih Dewi menunggu. Tak ada tanda-tanda dari lelaki itu. Tiba-tiba ada seekor anjing menghampiri Dewi, jelas perempuan yang paling anti pada anjing ini menangis terisak-isak. Suara tangisan Dewi pun terdengar ke telinga penjual gas itu,”Kenapa de? Tanyanya. Dewi hanya mampu menggeleng. Dibawanya gadis kecil itu ke warnet. Warnet kala itu, lagi tenar-tenarnya, bahkan memakai seragam khusus. Bapak berseragam warnet, entah siapa namanya, menanyakan Dewi nomor telepon rumah.”Wah, waktu itu jamannya kak telepon rumah, kujawab mi 889378,”ungkapnya kepadaku.Bapak itu pun memencet nomor yang dimaksud Dewi. Seorang perempuan terdengar bicara. Benar ia adalah Ibunda Dewi. Ia kaget bukan main mendengar kabar tersebut. Bapak itu pun menjelaskan dan memberikan alamat.

Kakak Sulung Dewi, Dian, pertama kali menjemput. Setelah itu polisi dengan kendaraan motornya, lanjut tante dewi dengan seraga pegawainya dan terakhir Bapak Dewi.”Edede kak, empat kali saya pindah tempat duduk, sampai di Bapak,”lanjutnya. Terkesan peduli, Bapaknya pun mengajaknya ke sebuah supermarket,”Beli saja Nak, apa yang kamu suka, terserah,”ungkapnya trauma.

Sesampainya di rumah, seluruh keluarga menunggu di teras bahkan rumah didatangi oleh tetangga. Ibunda Dewi pertama kali menggendongnya lalu mencium gadis bungsunya. Kemudian diopor lagi ke Nenek Perak. Hingga Dewi pun diajak duduk di ruang tamu layaknya artis yang sedang konferensi Pers. “Dewi, kau diapakan,”Tanya Indra, teman sekawan Dewi bermain. Dewi hanya menjawab,”Diajak jalan-jalan,”ungkapnya polos.

setelah kejadian itu, Satu bulan lamanya Dewi diantar pulang pergi oleh keluarganya. Hingga suatu saat, ia bersama bapaknya pulang dengan mobil. Diperjalanan ia melihat sosok lelaki,”Pak mirip itu orang,”ungkap Dewi. Sontak, Bapaknya mengambil parang yang berada di laci mobil. Lalu mencoba melihat-melihat orang yang dimaksud,”Itu pak mirip dengan penjaga warnet,”tunjuknya pada lelaki yang menggandeng seorang anak.”O” jawabnya.

Makassar, 17 Oktober 2011

Cerita dari sebuah curhat gadis SMA, Murid semata wayangku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline