HARI lahir Pancasila kali ini dicederai insiden di Bogor. Sekelompok kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggeruduk kantor koran harian Radar Bogor, Rabu (30/5/18). Aksi ini dipicu berita utama koran tersebut hari itu yang dinilai menyinggung martabat Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Sebagaimana ramai diberitakan, hari itu koran tersebut menurunkan berita utama berjudul "Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp 112 Juta" dilengkapi ilustrasi grafis yang mengambarkan Megawati. Berita ini berkenaan degan gaji orang-orang yang tergabung dalam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Megawati adalah ketuanya.
Tak ada yang aneh dalam isi berita itu. Hampir semua media memberitakan hal yang sama, bahwa pemerintah menetapkan gaji bagi orang-orang yang terlibat dalam BPIP. Penetapan gaji pun ini tentu tidak seketika, karena pasti sudah melalui prosedur penganggaran yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal yang agak membedakan adalah pemilihan judul, yang oleh sebagian orang --terutama oleh kalangan partai yang bersangkutan-- dinilai berlebihan, insinuatif, dan sarat opini. Karena itulah mereka marah, lalu mendatangi kantor penerbit, dan terjadilah insiden.
Banyak pihak menyesalkan tindakan main hakim sendiri ini. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), misalnya, segera menyiarkan pernyataan yang intinya mengutuk tindakan yang melanggar Undang-Undang No 40/1999 Tentang Pers tersebut. AJI juga mendesak polisi bertindak, sambil mengimbau pihak media untuk selalu mematuhi etika juirnalistik.
Persoalannya kemudian adalah, sampai kapan masyarakat bisa betul-betul bebas dari ketakutan? Pers bebas dari tekanan, petani dan pedagang kecil bebas dari intimidasi, pebisnis bebas dari pemerasan dan kewajiban upeti, pemeluk agama bebas melaksanakan keyakinannya. Kapankah itu?
Dua dekade reformasi dan larut dalam kehidupan demokrasi, tampaknya belum cukup menghadirkan rasa aman itu. Bahkan sebaliknya, pada situasi tertentu demokrasi dan kebebasan justru dijadikan pembenar bagi tindakan yang sesungguhnya pemaksaan kehendak.
Orang masih demikian mudah bertindak garang, gampang menyerang dan --kalau perlu-- mengusir bahkan membunuh orang atau kelompok lain sambil berlindung di balik topeng oranisasi, kesukuan, keyakinan, dan lain sebagainya.
Orang yang meyakini kebenaran, tentu tidak akan merasa terhalang bersaudara dengan siapa pun, termasuk dengan orang yang berbeda keyakinan dan ideologi. Hubungan antarmanusia justru lebih dinamis manakala di sana tercermin adanya kebedaan, dan segenap pihak bersikap dewasa dalam menghadapinya.
Insiden di Bogor menunjukkan, belum semua pihak memandang perbedaan itu dalam koridor Bhinneka Tunggal Ika. Ketersinggungan karena perbedaan pandangan dalam melihat satu fenomena, langsung ditindaklanjuti secara fisik, menggeruduk dan mengumbar amarah. Padahal, undang-undang menyediakan ruang untuk penyelesaian masalah seperti itu.
Jika bangsa ini sudah sepakat menempatkan hukum di atas segalanya, maka jalan inilah yang semestinya ditempuh. Apabila satu pihak tidak puas oleh pemberitaan, selesaikan saja melalui jalur hukum. Main hakim sendiri yang hanya akan membuat buruk citranya. Sebaliknya, media yang bersangkutan wajib pula memenuhi tuntutan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaanya.