MAKIN berderet tokoh yang namanya disebut-sebut sebagai layak dimajukan sebagai calon Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Percaturan terutama di kalangan elite politik di tanah air –lebih tepat di Jakarta– seolah hanya terfokus pada bagaimana caranya mekanisme demoksrasi digunakan untuk “menggulingkan” Basuki Tjahaya Purnama, alias Ahok, dan menggantikannya dengan tokoh yang mereka anggap sesuai.
Percaturan kian memanas setelah Ahok memutuskan maju melalui partai-partai yang telah menyatakan bersedia mengusungnya. Sebelum ini ia selalu meyakinkan publik hendak maju melalui jalur perseorangan atas dukungan para relawan “Teman Ahok”.
Sejauh ini popularitas dan kemungkinan keterpilihan Ahok memang masih tetap tinggi dibanding orang-orang yang namanya disebut-sebut. Selain karena memang belum ada tokoh lain yang secara tegas menyatakan diri maju ke arena pemilihan, calon yang disodorkan (disebut-sebut) oleh partai pun belum meyakinkan.
Belakangan malah muncul nama tokoh-tokoh dari Jawa Tengah yang konon akan sepadan jika dipertandingkan “melawan” Ahok. Bahkan nama Ganjar Pranowo, Hendrar Prihadi, dan Yoyok Riyo Sudibyo –mereka adalah Gubernur Jateng, Walikota Semarang, dan Bupati Batang– pun masuk “bursa” bersama Budi Waseso, Kepala Badan Nasrkotika Nasional.
Nama-nama itu melengkapi nama yang sudah disebut-sebut terdahulu, mulai dari Sjafrie Sjamsudin, Sandiaga Uno, Yusril Ihza Mahendra, Rizal Ramli, Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini. Kecuali Sandiaga, Yusril, Sjafrie, dan Rizal, semua nama yang disebut itu adalah tokoh-tokoh muda dan pembaharu di daerah yang dipimpinnya.
Sebuah survei yang dihela Juni lalu menunjukkan Ahok masih unggul dibanding nama 17 tokoh lain yang dicantumkan. Berdasarkan hasil survei itu, elektabilitas –kemungkinan keterpilihan– Ahok mencapai 49,3 persen, ia masih di atas Ridwan Kamil (Walikota Bandung) dengan elektabilitas sebesar 9,3 persen. Tokoh-tokoh lain berkisar antara 0,2 sampai 6,8 persen.
Survei politik seperti ini tentu saja belum bisa jadi patokan utama dan tidak mungkin memotret aspirasi segenap warga DKI, bahkan dalam beberapa kasus pernah terjadi sebaliknya, apa yang digambarkan survei ternyata berbanding terbalik pada hasil pelaksanaan pemilihan. Apalagi perilaku pemilih Indonesia demikian cair, tidak bisa ditebak dan tidak selalu konsisten.
Hiruk-pikuk politik di Jakarta mungkin tidak terlalu penting bagi publik di daerah, namun ia tetap menarik dicermati terutama ketika belakangan ini justru nama-nama tokoh dari daerah yang disebut-sebut dan “dibetot-betot” untuk maju ke pemilihan gubernur.
Hal lain yang menarik adalah, hampir semua perbincangan, percakapan, diskusi, dan latar belakang serta alasan mengajukan nama-nama itu semata untuk menandingi, melawan, menggulingkan, dan mengalahkan Ahok, seakan ia adalah “musuh” bersama yang demikian kuat hingga perlu ramai-ramai dijatuhkan. Apa pun caranya.
Nyaris tak ada yang menyatakan bahwa, nama “X” diajukan karena akan mampu melayani lebih baik lagi warga Jakarta yang demikian heterogen, membangun berbagai kebutuhannya dan menyejahterakannya. Bersamaan dengan itu disorongkan bukti-bukti dan gagasan serta visinya yang diyakini akan bisa lebih baik dari apa yang sudah dilakukan pejabat sebelumnya.
Di luar itu semua, dinamika politik Jakarta tetap menarik bagi daerah karena Jakarta adalah miniatur paling lengkap negeri ini dari berbagai aspeknya, termasuk dari aspek politik. Apa yang terjadi sekarang ini adalah gambaran, seperti itulah proses dan dinamika politik di negeri ini hari-hari ini.