Lihat ke Halaman Asli

Yusran Pare

Orang bebas

Susi dan Susilo

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SEORANG perempuan dari Bojonegoro Jawa Timur nekat mendatangi Istana Presiden di Jakarta. Susi, demikian nama perempuan itu, menggendong Rido, anaknya, yang baru berusia empat setengah tahun. Sang anak cedera berat. Maret lalu ia jadi korban kebakaran akibat ledakan tabung gas, sempat dirawat di rumah sakit namun belum tuntas karena tak ada biaya. Namun Susi dan anaknya ini dicegah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keduanya sempat luntang-lantung di halaman Sekretariat Negara sampai seorang sopir Rumah Tangga Kepresidenan mengantarkan mereka ke Kantor Pusat Pertamina, Jakarta. Sang ibu ingin bertemu presiden untuk mengadukan nasibnya, terutama minta bantuan agar anaknya bisa dirawat hingga tuntas. Dia tak mampu lagi menanggung biaya bagi pengobatan anak terkasihnya. Jangankan untuk biaya perawatan dan pengobatan, untuk biaya sehari-hari pun mereka kesulitan. Suaminya pekerja serabutan yang penghasilannya tak menentu. Dia sendiri tak mungkin ikut berekerja karena sang anak memerlukan prhatian serius dari waktu ke waktu. Ini adalah gambaran nyata tentang satu di antara sekian banyak korban kebakaran akibat ledakan tabung gas yang dimasyarakatkan sejak 2007 sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah. Hampir semua korban adalah kalangan masyarakat kecil, karena bagi mereka jugalah program ini terutama ditujukan. Hal yang lebih menyayat hati adalah fakta bahwa Bojonegoro -- tempat perempuan miskin yang bersama anaknya kena musibah gas itu-- justru wilayah yang memiliki 75 persen cadangan minyak dan gas di kawasan pertambangan yang disebut Blok Cepu. Sudah dua tahun kawasan yang masuk blok Cepu ini dieksplorasi kembali oleh perusahaan asing dan mengalirkan milyaran rupiah ke pundi-pundi mereka, juga ke pemerintah setempat. Ironi ini seharusnya jadi perhatian presiden --yang tak sempat menerima ibu dan anaknya itu-- bahwa di tanah air yang indah permai aman sejahtera ini, ada seorang ibu yang hidup miskin di atas cadangan kekayaan minyak dan gas yang demikian melimpah. Kemiksinannya diperparah lagi oleh musibah yang diakibatkan ledakan gas yang diperuntukkan bagi warga miskin. Penggunaan gas sebagai bahan bakar di dalam rumah tangga, bukanlah hal baru. Namun penggunaan secara massal bagi rakyat kecil untuk menggantikan minyak tanah yang harganya kian membubung, dipopulerkan belakangan ini. Jutaan tabung diporduksi untuk keperluan ini, awalnya dibagikan secara cuma-cuma kepada warga yang dinggap layak menerima yang selama ini menggunakan kompor berbahan bakar minyak tanah. Sejak program konversi minyak tanah ke elpiji ini digulirkan jumlah insiden dan korban ledakan gas terus meningkat. Pada 2008, tercatat dua orang tewas, 27 luka-luka, 19 rumah rusak dan terbakar akibat ledakan gas. Tahun berikutnya, korban jiwa bertambah menjadi 12 orang. Tahun ini, baru memasuki paro pertama, sudah terjadi sekurang-kurangnya 19 ledakan tabung. Jumlah korban pun meningkat, yaitu 15 tewas, 39 orang cedera, dan 55 rumah rusak. Di antara korban itu adalah perempuan asal Bojonegoro itu bersama anaknya. Fakta-fakta yang muncul dari berbagai insiden itu menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah kualitas tabung, selang, dan panel pengatur (regulator) yang di bawah standar. Praktek pemindahan atau pengisian gas secara amatir dan asal-asalan oleh orang yang ingin meraup untung, juga jadi penyebab dalam beberapa kasus. Musibah akibat tabung gas ini sebenarnya bisa dihindari, andai sejak awal segenap pihak yang terkait melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan jujur dan bersih, sejak dari pengadaan jutaan tabung gas, pengadaan kelengkapannya, serta pengadaan hingga pemasaran gasnya. Namun tampaknya perilaku korup sudah demikian merasuki banyak orang, termasuk mereka yang terkait dalam mata rantai proyek gas untuk rakyat ini. Pembuat tabung dan pedagang nakal melalaikan standar keamanan dan keselamatan demi mendapat untung sebesar- besar dalam tempo secepatya. Pedagang nakal, mengisi dengan caranya sendiri mengisi gas dan meperdagangkannya tanpa peduli lagi bahwa tindakannya mengancam banyak orang. Pihak-pihak yang bertanggung jawab atas program ini, saling tuding ketika muncul ekses buruk dari kebijakan yang semula diniatkan untuk meringankan beban rakyat ini. Kita seperti bangsa yang kehilangan empati, kehilangan rasa kemanusiaan. Kaum industri dan pedagang, hanya peduli pada keuntungan, pejabat dan politisi hanya peduli pada pengaruh dan kedudukan. Mereka peduli pada rakyat kecil hanya saat menjelang pemilihan. Kasus Susi yang nekat membawa anaknya ke istana Susilo Bambang Yudoyono adalah contohnya. Ia tak mungkin melakukan hal itu andai semua pihak, mulai dari pemangku kebijakan, kalangan industri, pedagang, lingkungan sekitar, pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, provinsi setempat, betul-betul memiliki empati yang tinggi atas penderitaan sesama. **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline