[caption id="attachment_318320" align="aligncenter" width="579" caption="Logam pembingkai Hajar Aswad di Museum Kabah"][/caption]
UMRAH kedua dilakukan hari berikutnya. Kali ini kami memulai dari Ji’ronah, satu di antara tempat bersejarah letaknya di luar Kota Makkah. Tempat ini pernah disinggahi Rasulullah SAW bersama para pejuang Islam setelah Perang Hunain. Sebagai penanda, didirikanlah masjid sekaligus sebagai tempat miqat, mengawali ritus haji atau umrah.
Sejak awal saya sudah berpasrah diri, mengikuti saja yang dipandukan oleh para mutawif kami, Mas Imam dan Mas Nur. Imam, pria asal Klaten, Jateng yang keluarganya tinggal di Bogor, Jabar. Sementara Nur berasal dari Surabaya, Jatim. Mereka amat sabar dan melayani dan menjelaskan berbagai hal terkait kegiatan yang kami lakukan.
Seusai miqat di Masjid Ji’ronah, kami kembali memasuki Makkah, dan memulai kembali ritual umrah. Tak ada yang istimewa, karena cuma mengulang yang sudah kami lakukan sebelumnya. Bedanya, kali ini udara lebih dingin dan terasa menusuk meski matahari ‘mencorong’ tajam.
Alhamdulillah tujuh putaran tawaf seolah tak membuat letih. Padahal saat itu jamaah membeludak, baku desak luar biasa, sampai ada seorang perempuan yang menjerit histeris karena terjepit gelombang manusia dari segala arah.
Gelombang massa dalam histeria transendensi terhadap Sang Khaliq, sangat terasa manakala tawaf mendekati Hajar Aswad. Semua orang seakan tersedot ke celah kecil di sudut Kabah itu, berlomba mencium atau sekadar bisa menyentuh batu yang asal-usulnya masih terbungkus misteri ini.
Banyak orang melakukan segala macam cara untuk mewujudkan hasratnya mencium Hajar Aswad. Mendesak, menyikut, mendorong, kalau perlu menginjak orang lain pun seolah tak apa.
Bagi mereka yang kreatif, ini jadi peluang usaha. Beberapa orang menyediakan dirinya menjadi pemandu untuk mencium sang batu hitam. Biasanya dalam kelompok kecil, dua atau tiga orang. Mereka akan bertugas sebagai penerobos jubelan manusia, membukakan jalan dan melindungi dari sisi kiri kanan jika ada orang lain yang menyerobot. Tarifnya, minimal 150 real sekali cium.
Sebagian orang yakin, itu batu dari surga. Sebagian lain menyatakan batu itu sejenis meteorit yang jatuh di bumi ribuan tahun silam. Hajar Aswad sudah ada saat Nabi Ibrahim membangun Kabah. Konon, semula ukurannya cukup besar, diameternya sekitar 30 sentimeter. Tapi batu ini sudah mengalami beberapa kali jadi barang jarahan, bahkan dipecah-pecah.
Ada yang menyebutkan, satu serpihannya disimpan di museum geologi Inggris sebagai bahan penelitian. Situs Al-Arabiya mengutip pernyataan Ahmad Moraei, profesor dari Umm al-Qura University menyatakan, yang kini tersisa di Kabah bukan batu utuh seperti saat Nabi Ibrahim membangun Kabah, namun hanya beberapa fragmen. Dan, fragmen itu disatukan semen.
Berbagai penelitian dilakukan, hingga kini belum ada yang bisa mengungkap dengan jernih mengenai batu di Rumah Allah ini. Teori Hajar Aswad adalah serpihan meteorit, terbantah oleh fakta bahwa komposisinya sama sekali berbeda dengan kompisisi aneka meteorit yang pernah ditemukan di bumi.
Ada yang tetap pada perkiraannya bahwa Hajar Aswad adalah batuan meteorit, namun bukan meteor yang berasal dari tata surya kita. Bukan dari galaksi Bima Sakti, melainkan dari galaksi lain yang entah bagaimana bisa masuk ke bumi ribuan tahun silam. Wallahu’ alam! Yang jelas, batu itu telah menghisap umat Islam sedunia untuk mendekatinya, mengusapnya, atau bahkan menciumnya, untuk menghirup wangi yang abadi.