Lihat ke Halaman Asli

Yusran Pare

Orang bebas

Madinatun Nabawi (1): Seperti Mimpi

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1396426385610150279

[caption id="attachment_318172" align="aligncenter" width="648" caption="Payung-payung raksasa di halaman Masjid Nabawi, saat ditutup suatu senja di awal Maret 2014."][/caption]

SETIAP hari, ada saja rombongan urang Banjar pergi umrah. Liturgi setahap di bawah ibadah haji ini, seolah sesuatu yang amat biasa bagi sebagian orang. Tapi bagi saya tidak. Ini seperti mimpi. Hingga menulis catatan ini pun, sensasi keluarbiasaan pengalaman ini masih terasa. Saya masih belum yakin atas apa yang tiba-tiba saya alami: Umrah.

Selain awam soal agama yang tercantum pada KTP (kartu tanda penduduk), saya pastilah bukan termasuk orang saleh dan taat menjalankan syariat. Salat saja masih belang-bonteng. Puasa pun mungkin cuma diganjar lapar. Ibadah lain? Entahlah. Tiba-tiba saya diundang ke Baitullah, Rumah Allah, dengan begitu mudah.

Ada rasa panik. Kahawatir. Malah takut. Apalagi mendengar kisah pribadi orang-orang yang pernah pergi ke Tanah Suci. Bahwa, segalanya serbanyata di sana. Semua tindak-tanduk, perkataan, pikiran, langsung jadi kenyataan. Bahkan laku langkah kita sebelumnya, konon akan dapat imbalan ‘kontan’ di Tanah Haram. Hadeh!!!

Orang-orang yang sudah mendedikasikan dirinya sedemikian rupa dalam kehidupan keagamaan saja, masih memerlukan dan melakukan aneka persiapan batiniah menjelang kepergian ke Tanah Suci agar pelaksanaan ibadah mereka lancar dan sempurna. Apalagi yang sudah menyiapkan diri melaksanakan niat ibadahnya. Lha, saya? Doa paling sederhana pun mungkin tak sempurna kalau saya lafalkan.

Akhirnya saya renungkan kembali. Pasrah sajalah. Ikhlas. Jalani saja yang harus dijalani. Dan, itulah yang terjadi. Tanpa persiapan apa pun yang terkait ibadah umrah, kecuali sekali ikut manasik ringkas, saya bulatkan tekad untuk berangkat.

Tak ada rasa letih ketika kaki menjejak pelataran Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Saudi Arabia, Minggu (9/3/14), setelah sembilan jam penerbangan  dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, dan masa penantian  hampir enam jam saat transit di bandara itu setelah satu setengah jam terbang dari Banjarmasin.

Tepat seperti digambarkan  Agus Arianto dan Sugiannor dari Travellindo, saat manasik lima hari sebelum pergi, ujian pertama adalah kesabaran menghadapi para petugas imigrasi di Jeddah. Betul saja.

Rombongan kami, 48 orang termasuk seorang balita dan beberapa orang yang sudah sepuh, tiga di antaranya bahkan harus dibantu kursi roda, setelah perjalanan sekian panjang itu masih harus menanti lagi sekitar tiga jam sebelum mendapat pelayanan  petugas imigrasi. Itu pun dengan kualitas layanan yang terasa sangat lamban, seperti ogah-ogahan. Tapi kami mencoba memahami situasi mereka, yang sepanjang hari tanpa kenal lelah menerim tamu-tamu Allah dari berbagai penjuru dunia.

Saya bisa membayangkan, ini pasti belum seberapa jika dibanding saat musim haji, saat jutaan orang serentak datang via Jeddah. Bersama rombongan lain yang satu pesawat, kami menghabiskan waktu untuk beristirahat. Sebagian di antaranya, sibuk bertransaksi dengan para penjaja kartu perdana provider setempat, Mobily, agar bisa segera berhubungan dengan sanak famili di tanah air.

Ini era informasi. Pulsa menjadi kebutuhan utama selain sembilan bahan pokok. Di ruang tunggu terminal kedatangan, sebelum pemeriksaan imigrasi, setidaknya ada tiga pemuda yang menjajakan dan melayani para pelanggan yang ingin berganti kartu telepon seluler mereka. Kartu perdana seharga 40 real untuk paket seminggu, dijual 50 real!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline