Lihat ke Halaman Asli

Yusran Darmawan

TERVERIFIKASI

Menyerap Hikmah, Memulung Makna

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428547699268496115

[caption id="attachment_408846" align="aligncenter" width="600" caption="poster film (foto: sidomi.com)"][/caption]

FILM Ada Surga di Rumahmu memiliki tema yang sederhana, namun sangat kuat menggedor-gedor hati ini. Film ini mengajukan banyak tanya yang memenuhi benak saya. Betapa saya merasa terlalu jauh dari orangtua. Betapa saya, laksana manusia modern lainnya, terjebak dalam sirkuit pencarian zona nyaman. Betapa saya mengabaikan begitu banyak hal-hal sederhana yang justru sangat bernilai dan membahagiakan.

Film ini membuat saya sejenak merenung. Betapa saya laksana seseorang yang bepergian untuk mencari-cari udara, tanpa menyadari bahwa udara senantiasa melingkupi dan setiap saat memasuki tubuh saya dalam tarikan napas. Ke mana-mana saya mencari bahagia, padahal sejatinya bahagia itu amatlah dekat. Ia terletak pada senyum seorang ibu saat memandang anaknya. Ia terletak pada beningnya telaga hati ibu yang menampung semua tumbuhan kebaikan dan pengharapan dalam diri anaknya.

***

DI Mal Belanova, Bogor, saya menyaksikan poster film Ada Surga di Rumahmu, yang diproduksi Mizan. Film ini disutradarai oleh Aditya Gumay. Aktor utamanya adalah Husein Idol. Bersama istri dan anak, saya memutuskan untuk menonton film ini. Apalagi, kami tak tertarik menonton film Fast and Furious 7 yang lagi tayang di bioskop.

Jujur, saya bukan penggemar film berlatar religi. Beberapa film religi yang pernah saya tonton tak begitu mengesankan. Mengapa? Di mata saya, film religi seringkali menghadirkan ancaman-ancaman, apakah itu ancaman akan masuk neraka, ancaman akan tewas dalam keadaan tubuh penuh belatung, ataukah ancaman akan mendapat azab. Sejak awal, saya ingin beragama yang dilandasi cinta kasih, bukannya ketakutan-ketakutan.

Saya juga tak suka dengan kemasan religi pada film-film horor yang menegaskan peran ulama hanya sebagai pengusir setan. Padahal, setan dalam kehidupan ini amatlah kompleks. Setan tak lagi hadir pada sosok kuntilanak ataupun genderuwo. Setan bisa hadir pada sikap masa bodoh atas sesama, sikap merasa diri paling hebat, ataupun sikap merasa enggan untuk membuka diri pada beragam inspirasi kebaikan. Setan bisa hadir di media sosial, dalam bentuk fitnah pada orang lain, atau menyebar berita-berita yang tak berbasis fakta.

Dibayangi oleh berbagai pengalaman menonton religi sebelumnya, saya penasaran untuk menyaksikan film ini. Adegan pembuka bikin saya tercekat. Seorang anak kecil berpidato tentang sosok bernama Uwais Al Qarni, yang setia menjagai ibunya yang lumpuh dan buta. Saya tersentak dengan kisah bahwa Rasul begitu menghormati pemuda yang menjagai ibunya itu. Pemuda itu disebut sebagai penghuni langit. Pemuda itu mendapat tempat istimewa di hati Rasul sehingga dirinya selalu dicari para sahabat di masa itu.

Adegan selanjutnya berjalan apik dan mengesankan. Anak kecil yang berpidato tadi selanjutnya masuk pesantren. Ia penuh keisengan dan kenakalan-kenakalan kecil. Saya terpingkal-pingkal saat menyaksikan adegan ketika gurunya menghukum si anak harus ceramah di kuburan di tengah malam buta. Saya juga terkekeh saat si anak itu diharuskan ceramah mengenai keadilan di satu pasar tradisional, di hadapan penjual daging yang sedang memotong-motong daging, yang barangkali sedikit mengurangi timbangan. Ekspresinya lucu saat melihat kilatan kemarahan di wajah penjual daging.

Adegan selanjutnya bikin hati ini menjadi basah. Guru anak muda itu senantiasa mengulangi kalimatnya bahwa keberhasilan seorang anak selalu terletak pada keikhlasan dan pengharapan orangtuanya. Ia memberikan pesan bahwa mencintai orangtua adalah bagian dari indahnya ajaran agama. Ia membisikkan pesan indah agar si pemuda menyayangi orangtuanya lebih dari apapun.

Pesan indah itu disampaikan dalam tindakan-tindakan yang sederhana dan sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Saya melihat dedikasi seorang ayah dan ibu untuk kebahagiaan anaknya. Saya menyaksikan tenunan kasih seorang ibu yang menyimpan kain milik anaknya, yang kemudian diciumi saat merindukannya. Saya menyaksikan betapa dahsyatnya cinta seorang ibu yang tak ingin memberi tahu anaknya kalau dirinya sedang didera penyakit, hanya karena tak ingin menganggu hari-hari anaknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline