Lihat ke Halaman Asli

Yusran Darmawan

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Akademisi

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428284328937030749

[caption id="attachment_407979" align="aligncenter" width="600" caption="suasana pelatihan menulis bagi akademisi dan peneliti di Ambon"][/caption]

BEBERAPA minggu silam, saya diundang Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti) untuk memberikan pelatihan menulis populer bagi akademisi dan peneliti. Dua kali memberikan pelatihan itu, saya akhirnya berkesimpulan bahwa problem besar bagi akademisi terkait menulis bukanlah teknik penulisan dan bagaimana memulai paragraf. Apakah gerangan?

***

HARI itu, saya menjadi fasilitator pelatihan menulis di Ambon, Maluku. Saya ditantang untuk mengubah kurikulum kelas menulis yang berbeda dengan materi pelatihan jurnalistik. Fokusnya adalah bagaimana melatih para akademisi dan peneliti agar terbiasa dnegan berbagai style menulis, termasuk menulis blog, artikel populer, dan essai. Saya menerima tantangan itu sebagai ajang pembelajaran.

Tadinya, saya mengira bahwa pesertanya adalah para dosen muda ataupun peneliti yang baru meniti karier. Saat sesi perkenalan, saya tercengang. Banyak di antara pesertanya adalah dosen senior yang telah lama malang-melintang di berbagai konferensi ilmiah di dalam dan luar negeri.

Sebagai fasilitator, saya malah senang. Sebab metode pembelajaran yang dipilih adalah metode belajar untuk orang dewasa. Semua orang bisa menjadi guru dan berbagi pengalaman. Saat menggelar sharing, saya bertanya pada beberapa dosen senior, mengapa mereka ingin ikut pelatihan itu. Jawabannya cukup mengejutkan. "Saya ingin belajar bagaimana menulis yang bisa menginspirasi dan mencerahkan publik," katanya.

Pada sesi sharing itu pula saya mendapatkan satu kenyataan menarik. Bahwa banyak di antara mereka yang merasa kesulitan ketika hendak mulai menulis. Padahal, pekerjaan mereka senantiasa terkait dengan teks, serta bagaimana memahami dunia teks. Jika saja mereka pun mengalami kesulitan, bagaimanakah halnya dengan masyarakat kebanyakan yang lain?

Mulanya saya beranggapan bahwa jangan-jangan, mereka kesulitan ketika hendak membuat tulisan ilmiah. Ternyata tidak juga. Jangankan menulis ilmiah, menulis secara lepas saja mereka kesulitan. Para akademisi yang saya temui ini merasa kesulitan untuk menggerakkan pena dan menghasilkan banyak tulisan, baik untuk jurnal ilmiah, maupun untuk konsumsi media massa.

Sejak dahulu, saya beranggapan bahwa menulis adalah soal bagaimana mengalirkan energi secara lepas dan dikanalisasi ke dalam kata. Saya tak hendak membedakan antara tulisan ilmiah dan tulisan populer. Bagi saya, keduanya hanyalah style atau bentuk yang berbeda. Tapi 'sumsum'-nya sama, yakni bagaimana melepaskan gagasan ataupun mengalirkan energi ke dalam teks.

Melalui pelatihan itu, saya menampung gagasan dari mereka. Saat praktik menulis, saya mendapat kesimpulan kalau mereka telah mengetahui berbagai jenis-jenis dan kiat memulai proses menulis. Problem besar yang kerap dihadapi lebih mengarah ke aspek psikologis, yakni kekhawatiran-kekhawatiran tentang tulisan yang akan lahir kelak. Banyak orang yang memelihara kekhawatiran sebelum aktivitas menuis dimulai. Sebagai akademisi, mereka takut kalau-kalau tulisannya dianggap jelek oleh orang lain, dianggap basi, dianggap tidak paham perkembangan, ataupun dianggap tidak standar.

Padahal, kodrat seorang akademisi ataupun ilmuwan adalah belajar dari semua kesalahan. Ilmu pengetahuan berkembang pesat melalui trial and error alias coba dan gagal. Tanpa pernah mengalami kesalahan, ilmu tak akan bisa menemukan bentuknya seperti sekarang. Lantas, mengapa mereka sampai takut melakukan kesalahan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline