Lihat ke Halaman Asli

Yusran Darmawan

TERVERIFIKASI

Surat buat Tan Malaka

Diperbarui: 21 Februari 2016   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1392251629639761804

[caption id="attachment_322270" align="aligncenter" width="600" caption="Tan Malaka, pejuang yang kesepian (foto: tempo.co)"][/caption]BUNG Ibrahim Datuk Tan Malaka yang sedang berbaring di sana. Puluhan tahun silam, engkau pernah menulis, "Dari dalam kubur, suaraku akan lebih keras." Apakah suaramu masih akan nyaring sebagaimana dahulu ketika dirimu berhadapan dengan opsir kolonial di banyak negara? Apakah engkau akan bahagia ketika republik yang kau idam-idamkan akhirnya didirikan oleh Sukarno dan telah berdiri selama 68 tahun?

Generasi kami tak banyak banyak mengenalmu. Kamu tenggelam di lipatan sejarah. Bahkan ketika pemikiranmu hendak dibedah di Surabaya pekan lalu, banyak massa salah satu organisasi Islam datang menyerbu. Mereka melarang diskusi pemikiranmu digelar. Mereka memakimu. Mereka menyebutmu komunis yang tak layak dikenang. Bahkan tak pantas untuk sekadar dibicarakan. Kamu dianggap najis yang tak layak diingat.

Aku yakin kalau mereka tak paham bahwa hidupmu telah didedikasikan untuk setiap tarikan napas di alam kemerdekaan. Mereka tak paham bahwa di masa perang segala bentuk ideologi adalah senjata yang dipilih dengan satu tujuan untuk menggapai kemerdekaan, untuk menghancurkan kolonialisme. Ketika mereka melabrak diskusi tentang pemikiranmu, mereka seakan hendak berkata bahwa kontribusimu harus dibuang jauh-jauh. Hanya karena satu hal. Karena engkau seorang komunis.

Mereka tak tahu kalau banyak ilmuwan yang amat menghormatimu. Muhammad Yamin menyebutmu Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan George Washington di Amerika atau Rizal di Filipina. Kemudian, Rudolf Mrazek menyebutmu sebagai manusia komplet. Ada juga ilmuwan Dr Alfian yang mengatakan bahwa kamu adalah pejuang revolusioner yang kesepian. Mereka menyebutmu hebat. Kamu seorang aktivis politik yang lincah, yang menghabiskan 20 tahun di dalam pembuangan di berbagai negara.

Bung Tan Malaka yang Kuhormati

Membicarakanmu adalah membicarakan benih awal tentang Indonesia. Dirimu telah mendedikasikan hidup di jalur perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Kalaupun belakangan tokoh yang menonjol adalah Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, maka tetap saja tidak mengecilkan peranmu sebagai bapak republik, yang pada setiap kalimatmu terdapat pedang yang hendak merobek-robek jantung kolonialisme.

Bagiku, engkau adalah seorang filosof di tengah kecamuk peperangan. Aku tak habis-habisnya mengagumi kemampuanmu untuk menulis sebuah buku filsafat di tengah-tengah deru revolusi dan perjuangan. Karyamu Madilog menjadi buku awal yang hendak membongkar aspek mitologis pada cara berpikir masyarakat kita. Engkau telah memperkenalkan cara berpikir logis, yang sejatinya bisa menjadi obor penerang bagi gelapnya cara berpikir.

[caption id="attachment_322271" align="aligncenter" width="475" caption="ilustrasi (foto: tempo.co)"]

13922516862146747275

[/caption]

Jika mereka tak pernah membaca Madilog, barangkali mereka juga tak membaca karya-karya terbaikmu seperti Gerpolek, Menuju Republik Indonesia, Massa Aksi, ataupun Dari Penjara ke Penjara. Andaikan mereka baca dan tak bersepakat, bukankah akan sangat baik jika mereka juga melahirkan buku yang hendak menyanggah gagasanmu? Bukankah ide harus dibalas dengan ide? Kau telah menulis dalam situasi keterbatasan. Jika mereka menulis, barangkali idenya akan lebih kaya karena mereka bisa memperdalam pengetahuan dengan cara membaca pustka di banyak perpustakaan besar, atau mengasahnya dengan sumber-sumber dari Google, perpustakaan amat besar yang mungkin tak pernah terbersit di pikiranmu. Sungguh amat sayang, mereka tak pernah siap dialog. Mereka tak siap untuk saling debat, kemudian menelusuri argumentasi masing-masing demi menemukan kebenaran.

Mereka berkata bahwa engkau seorang komunis. Katanya pula, para komunis punya sejarah pernah memberontak pada NKRI sehingga harus dilenyapkan. Dengan logika yang sama, aku ingin sekali bertanya pada mereka yang mengaku Islam itu. Bukankah sejarah negeri ini pernah pula mencatat sejumlah orang Islam yang kemudian memberontak pada negeri ini, yang salah satunya adalah Kartosoewirjo? Apakah kalian akan melenyapkan semua umat Islam hanya karena ada yang pernah memberontak? Bisakah kita menghakimi seseorang hanya karena perbuatan dari sedikit orang?

Bung Tan Malaka yang kuhormati

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline