Lihat ke Halaman Asli

Yusran Darmawan

TERVERIFIKASI

Saat Warga Kupang Anti-McDonald

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1409207537689973300

[caption id="attachment_355826" align="aligncenter" width="576" caption="pangan lokal di Kupang"][/caption]

ANDA penggemar ayam goreng ala McDonald dan KFC dan berbagai makanan siap saji dari luar negeri? Beberapa waktu lalu, di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), anak-anak muda justru menggelar kampanye antimakanan impor seperti KFC dan McD. Mereka menggalakkan gerakan kembali ke pangan lokal seperti ubi dan jagung. Tak disangka, keresahan mereka adalah potret keresahan warga dunia atas ancaman terbesar di masa mendatang, yakni ancaman kerawanan pangan.

***

DI dekat Biara Souverdi di Oebofu, Kupang, anak-anak muda itu sedang menyiapkan beberapa bibit tanaman. Mereka menanam bibit itu dalam batang pisang yang diletakkan secara melintang. Setelah menanam, mereka lalu menemui seorang tamu yang datang. Mereka berbagi bibit tanaman lokal seperti jejawud serta sorgum, dua tanaman khas Nusa Tenggata Timur (NTT).

Ketika kutemui dua bulan silam, anak-anak muda yang tergabung dalam Geng Motor Imut itu bercerita tentang kian langkanya pangan lokal, serta semakin tergantungnya warga Kupang pada berbagai pangan yang datang dari luar. Mereka juga berbicara tentang beberapa isu strategis seperti kemiskinan, serta keterbelakangan, juga kelaparan yang semakin mewabah ketika ketergantungan semakin meningkat. "Kita kehilangan kekuatan utama kita yakni pangan lokal. Kita mengabaikan kemurahan alam serta kebaikan bumi yang melimpahi kita dengan sumber makanan," kata salah seorang dari mereka.

Anak muda itu membuatku tersentak. Di usia semuda itu, mereka bisa berbicara tentang hal-hal substansial. Mereka memang unik. Mereka sangat berbeda dengan beberapa remaja yang kutemui di Taman Nostalgia, Kupang, beberapa waktu lalu. Beberapa remaja itu justru tersenyum-senyum serta saling melirik ketika kuminta menyebutkan makanan lokal. Bahkan mereka tertawa cekikikan ketika menyebut ubi, jagung, pisang, ubi kayu, hingga berbagai jenis kacang tanah. Mereka merasa minder dengan pangan yang tadi disebutnya.

Pangan lokal memang semakin terpinggirkan di mana-mana. Di Kupang, pangan lokal mulai terabaikan oleh deru kota yang kian berderap dan menjadi modern. Saat kutanyakan pada beberapa penduduk, mereka justru tak tahu apa itu sorgum. Padahal tanaman itu dengan mudahnya ditemukan di mana-mana. Buahnya sejenis padi, yang lebih banyak dimakan oleh burung. Aku teringat sahabat Maria Loretha di Adonara yang tekun berkampanye agar warga kembali mengonsumsi sorgum dan tidak menunggu-nunggu beras dari pulau Jawa. (baca informasinya DI SINI).

[caption id="attachment_355827" align="aligncenter" width="576" caption="kampanye pangan lokal"]

14092076101572784851

[/caption]

[caption id="attachment_355829" align="aligncenter" width="576" caption="peserta kampanye"]

14092076361752214558

[/caption]

Padahal, tanpa kecintaan pada pangan lokal, mustahil kita berdiskusi tentang ketahanan dan kedaulatan pangan. Logikanya, tak mungkin orang Kupang dipaksa membudidayakan sesuatu yang justru berjarak dengan kultur dan geografis wilayahnya. Tak adil jika orang Kupang diwajibkan makan beras, padahal wilayah itu tak cocok menjadi areal pertanian. Melihat tanah tandus dan berbatu di situ, aku berpikir bahwa sejak dahulu, ladang telah lama menjadi sandaran masyarakat untuk menggantungkan hidup. Seharusnya, ladang kembali difungsikan, demi menjadi sumber pangan bagi warga.

Sayangnya, potret yang kusaksikan di Kupang adalah keinginan kuat untuk segera memasuki gerbang modernisasi. Kapitalisme mulai menari-nari di kota itu. Baru masuk Bandara El tari, aku menyaksikan banyak restoran fast-food, serta jajanan yang tidak sehat. Sebagaimana generasi lain di berbagai kota, warga Kupang sedang gandrung-gandrungnya dengan makanan impor. Warga itu tak menyadari bahwa di negeri-negeri Barat yang dianggapnya hebat itu, pangan lokal yang dimakannya begitu bernilai, sedangkan fast-food yang dianggapya hebat itu justru sumber penyakit yang mendera masyarakat di belahan bumi sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline