[caption id="attachment_379041" align="aligncenter" width="576" caption="sampul buku"][/caption]
NUN jauh di Malinau, Kalimantan Utara, butiran gagasan tentang revolusi desa disebar ke mana-mana. Gagasan itu nampak sederhana, namun memiliki dampak yang luar biasa bagi banyak orang. Penggagasnya adalah Yansen TP, yang sejak lama berobsesi untuk memberikan kekuatan bagi desa-desa. Indonesia tidak dilihat dari pusat, Indonesia dilihat dari pinggiran terjauh. Tak disangka, gagasan itu memantul ke mana-mana. Di Raja Ampat, Papua Barat, gagasan Yansen ikut bergema, namun juga terselip beberapa catatan kritis yang patut disimak.
***
HARI itu, sebuah diskusi buku digelar di Jakarta. Buku berjudul Revolusi dari Desa itu menyentuh hati banyak orang. Yang dibahas adalah bagaimana memberikan kepercayaan dan tanggungjawab sepenuhnya kepada warga desa. Puluhan tahun Indonesia merdeka, titik berat pembangunan selalu ditekankan di kota-kota. Desa hanya menanti kemurahan hati orang-orang kota, tanpa menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Yansen memaparkan pengalamannya ketika membangun Malinau. Ia mengubah pandangan orang bahwa pembangunan bisa dimulai dari pinggiran. Ia selalu mengulang-ulang bahwa kepercayaan kepada rakyat adalah pilar utama bagi pembangunan. Pendekatannya revolusioner. Ia memberikan kepercayaan penuh kepada desa. Ia mendelegasikan wewenang hingga tanggungjawab kepada desa. Ia juga membagikan anggaran kepada desa, setelah itu membangun mekanisme untuk mengontrol penggunaan anggaran. Ia membuktikan obsesinya untuk membangun dari pinggiran. Ia tak memaparkan teori. Ia membawa bukti.
Pemikirannya mendahului zaman. Di saat pemerintahan baru menanam komitmen untuk memberikan otonom kepada desa, ia bergerak lebih dahulu untuk membumikannya. Sejatinya, pengalaman itu menyediakan butiran inspirasi untuk mengecek sejauh mana kelebihan sekaligus kekurangan konsep otonomi desa itu.
[caption id="attachment_379042" align="aligncenter" width="576" caption="saat Yansen memaparkan isi buku di Jakarta, 2 November 2014"]
[/caption]
Bagi saya, gagasan itu menjadi menarik sebab dilakukan di tengah kebijakan pembangunan yang tak memberi ruang bagi desa. Selama ini, banyak orang terjebak pada pandangan bahwa desa hanyalah mata rantai paling bawah dari sistem birokrasi. Pemerintah pusat memegang wewenang tertinggi, lalu di bawahnya ada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota, hingga pemerintahan desa.
Yansen membalik gagasan itu. Posisi masing-masing adalah sejajar dan saling bermitra. Pemerintah desa memiliki wewenang yang harus dipertanggungjawabkan ke hadapan warga. Desa punya kuasa untuk menentukan desain pembangunannya sendiri, sekaligus berdialog dan merumuskan solusi bersama pemerintah di atasnya.
***
BEBERAPA hari setelah diskusi itu, saya berkunjung ke Raja Ampat, Papua Barat. Disatu pulau indah, pada tempat yang disebut-sebut sebagai kepingan surga di bumi, saya bertemu beberapa kepala desa. Kami mendiskusikan banyak hal, termasuk gagasan Yansen tentang desa. Mereka paham intisari gagasan revolusi desa, seperti yang digemakan Yansen.