Setiap lewat ke sebuah rumah sederhana di pelosok Bandung, saya selalu teringat dengan teman (saya sebut Teman saja selanjutnya) yang sekarang tinggal di Jakarta. Dia ikut andil dalam pembangunan rumah anak yatim yang hanya menampung puluhan anak yatim-piatu itu.
Saat itu Teman masih kuliah di tingkat akhir. Tapi sejak masuk kuliah dia sudah tinggal di rumah yatim piatu, menjadi sukarelawan membimbing anak-anak yatim itu.
Sekali waktu tempat tinggal mereka, karena statusnya pinjaman, diambil oleh ahli waris yang meminjamkan. Memang dikasih waktu untuk mengosongkannya. Tapi keadaan keuangan tidak memungkinkan untuk kontrak rumah baru. Lagipula bila mengontrak rumah terus menerus, pengeluaran menjadi terlalu besar.
Kebetulan yayasan yatim piatu itu mempunyai sebidang tanah wakap yang bisa dibangun. Setelah berdiskusi, diputuskan untuk membangun rumah sederhana dengan semua simpanan keuangan. Tentu masih lebih banyak dana yang kurang dibanding yang tersedia. Proposal pun dibuat, diedarkan mencari sumbangan.
Teman itu termasuk yang bekerja keras mencari sumbangan. Setiap hari pergi bakda subuh dan pulang setelah larut malam. Setiap kenalan, donatur sebelumnya, orang-orang yang tahu keberadaan yayasan yatim piatu itu, semuanya didatangi. "Tapi dananya masih kurang banyak. Sementara waktu terus berjalan. Saya takut anak-anak belum bisa pindah sementara rumah itu harus segera dikosongkan," kata Teman. "Sementara pembangunan baru pondasi."
Lama-lama Teman itu mulai dihinggapi lelah dan putus asa. Suatu hari puncak dari kelelahan itu terjadi. Sejak pergi bakda subuh sampai menjelang maghrib Teman itu sudah mendatangi puluhan calon donatur. Tidak seorang pun yang memberi satu rupiah pun.
Tidak satu kata pun yang janji mau membantu. Hari itu dia berpuasa. Tiba-tiba ban motornya pecah. Dia baru ingat tidak satu rupiah pun uang di dompet dan saku celananya. Dia mendorong motor di pinggir jalan yang ramai. Adzan maghrib mulai berkumandang.
Dengan tubuh yang lelah, lapar yang sangat, sedih yang sulit dilukiskan, Teman itu mendorong motor. Dia berdoa sambil menahan airmata. Akhirnya dia sampai di masjid Salman ITB. Setelah berbuka dengan air wudhu, membersihkan diri, dia pun sholat sendirian karena jamaah sudah selesai.
Setelah sholat itulah, saat ingin berdoa, Teman itu tidak lagi bisa membendung airmatanya. Dia menangis sejadi-jadinya. Airmatanya bercucuran ke tangan dan pangkuannya. Do'a panjang yang ingin diucapkannya tidak satu kata pun yang keluar. Ya, karena semuanya tergantikan dengan tangisannya yang hebat. Tangisan yang mengguncangkan seluruh tubuhnya.
Setelah tangisannya mereda seseorang menepuk punggungnya dan mengucapkan salam. Bapak itu tersenyum dan bertanya mengapa dia menangis. Setelah diterangkan seperlunya, Bapak itu menanyakan alaman dan berjanji mau ikut menyumbang.