Akhirnya, saya tiba di Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Saya menempuh perjalanan selama dua jam bersama dua orang teman. Mereka adalah Ovi, seorang dokter muda yang kini bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon dan Titin, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Kota Serang.
Di dalam mobil, kami mengobrol tentang kasus pelecehan seksual dan gizi buruk yang terjadi di daerah Banten. Kata mereka, kemiskinan menjadi penyebab dari permasalah-permasalahan itu. Kali ini saya ingin membuktikannya sendiri.
"Mobilnya di parkir di sana saja, Teh," teriak seorang pria muda dari luar mobil, tangannya menunjuk pelataran rumah warga. Ia bernama Muhid, Ketua Pemuda Desa Lontar yang seringkali menginisiasi banyak gerakan untuk desanya.
Muhid tak menyambut kami seorang diri. Dia bersama empat pemuda lainnya. Mereka tampak senang kami datang. Rencananya sore itu, kami akan diajak bertemu dengan bidan desa. Dari bidan itulah kami akan mendapatkan fakta dan data tentang kasus gizi buruk.
Muhid membimbing kami menuju rumah bidan. Kami melewati lorong-lorong sempit di antara rumah penduduk. Seperti perkampungan pada umumnya, para perempuan berada di teras rumah untuk sekadar mengobrol. Anak-anak mereka bermain bersama.
"Tuh lihat, perut anaknya buncit, rambutnya pirang, badannya kurus. Ini tanda-tanda gizi buruk," ujar Titin. "Di sini banyak gizi buruk," sahut Muhid. Benar saja, saya tak hanya melihat satu atau dua saja dengan fisik seperti itu. Padahal baru satu gang yang kami lewati. Belum yang lainnya.
Perjuangan Bidan Desa
Musyamah baru saja memeriksa ibu hamil. Di ruang berukuran 2x3 meter itulah, ia sehari-hari melaksanakan tugasnya, memantau kondisi kesehatan ibu hamil dan para balita. "Mari-mari masuk apa yang bisa saya bantu," katanya sembari mempersilahkan kami duduk. Tangannya yang gesit, mengambil tiga botol air mineral. "Silakan diminum. Seadanya, ya."
Musyamawah adalah Bidan Desa Lontar. Ia lahir dan besar di desa tersebut. Setelah menuntaskan pendidikan bidannya, ia memutuskan untuk mengabdi di desanya hingga sekarang. "Saya capek Teh sebenarnya. Saya seperti berjuang sendiri."
Kasus gizi buruk di Desa Lontar memang cukup memprihatinkan. Musyamah enggan membuka data berapa banyak jumlah stunting dan gizi buruk di desanya. Tetapi ia sering menemukan anak dengan berat dan tinggi badan yang tidak sesuai dengan umurnya.
Masyarakat cukup sensitif jika anaknya didiagnosa kekurangan gizi. Mayoritas para ibu menikah di usia muda dengan keterbatasan pengetahuan soal nutrisi. Suami mereka bekerja sebagai nelayan. Meskipun Desa Lontar menghasilkan ikan setiap harinya, anak-anak yang menderita gizi buruk cukup banyak. Masyarakat masih percaya pada mitos, memberi asupan ikan pada anak, akan menyebabkan cacingan.
Jangan harap masyarakat Desa Lontar mengganti protein hewani itu dengan daging-dagingan. Meskipun mereka pun memelihara hewan ternak sekalipun. Masyarakat lebih senang mengonsumsi tempe dan tahu. Makan seadanya.