Lihat ke Halaman Asli

Yusmar Yusuf

Budayawan

Jalan Progresif

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kenapa berdendang dengan lirik masa lalu, merantai fikiran ke pokok kayu masa lalu? Karena tak sanggup menjalani kekinian. Lalu orang pun menjahit masa kini dengan bahan sutera masa lalu, walau lapuk dan rapuh. Menjahit kekinian dengan penamaan-penamaan sesuatu yang hilang dan bernilai romantik; kain sila, kain cita, kain cindai dan segala kain dengan rajutan benang-benang sezaman. Inilah jenis orang yang tak sanggup mengais kekinian yang menghampar khazanah, yang menghimpun keletah dan warisan ke depan. Jalanilah kekinian dengan prinsip “distribusi”. “Life is not accumulation, it is about contribution”, ujar Stephen R Covey. Sejarah menjadi cedera, karena kita memahaminya sebagai akumulasi tindakan dan perbuatan (baik hitam atau pun putih). Sejatinya, dia didatangi dengan prinsip distribusi. Di sini terjadi tindakan “memilih”. Bahwa kita hadir di masa kini adalah “pilihan”, dipilih dan “terpilih” karena edaran distributif sejarah yang diayak secara bijak.

Lalu, Stephen Covey yang dikenal sebagai pemikir progresif ini berujar terang dan cerlang; “lukislah masa depan dengan imajinasi, bukan dengan sejarah masa lalu”; bagi dia antara kehidupan, sejarah dan imajinasi, berkelindan dan serangkai dalam prinsip distribusi. Karena ada tiga ihwal yang tetap dalam kehidupan ini; perubahan (change), pilihan (choice) dan prinsip (principles). Semua ubahan ini harus dilihat dari sudut ‘diam’ bernama distribusi, bukan akumulasi terhadap kehidupan manusia. “Live out your imagination, not your history”, tegas Covey.

Bacalah sejarah, agar membuat kita jadi bijak. Di dalam sejarah terhimpun beragam versi; sejarah menurut pemenang, sejarah menurut si kalah, sejarah menurut pengkhayal imajiner. Perkauman versi ini sejatinya membangun distribusi terhadap kehidupan, bukan diakumulasi menjadi daya ledak yang berujung dengan celaru yang mengharu-biru. Di setiap versi, terhidang kebenaran, amanah, “kepercayaan” dan sebuah injab keyakinan tentang sesuatu ihwal dan ikutannya. Kebenaran itu sendiri berpembawaan sebagai lem dan pembungkus kehidupan. Tuhan menghidang sejarah, tapi sejarawanlah yang mampu membelokkan sejarah. Antara sejarah dan kebenaran, dia berada dalam sebuah ruang vakum bernama ‘klaim’. Sejarah klaim ini telah bergerak sepanjang derap sejarah manusia. Sirah perjalanan Islam pasca wafat Rasullullah misalnya, telah melahirkan sejarah pemberontakan di dalam ruang vakum yang ditemboki oleh Muawwiyah dan Ahlul Bait; Khawarij. Dan kaum terakhir ini memikul sejumlah klaim kebenaran sepihak. Perkauman yang berada di luar jalur Khawarif diklaim sebagai kafir. Dari pertelingkahan sejarah yang dipandang dari sudut gemuruh akumulasi itu, maka berjurailah sejumlah tindakan dan klaim yang tersulut dari mulut dan ujung lidah para ‘Khawarij modern’, mengenai haram dan kekafiran yang dialamatkan secara membabi-buta, tak kenal siang dan tak kenal malam. Mungkin berlangsung hingga kini, dalam jelmaan-jelmaan tak terduga. Sekali lagi, sejarah dirantai oleh sejumlah akumulasi, bukan distribusi.

Islam secara tradisional diperkaya oleh sejumlah perkakas serba lokal dan sejumlah hidangan distributif masa lalu termasuk sistem kepercayaan sebelum Islam datang ke anak benua India, kawasan Mongol dan Turki, Uzbekistan, dan yang paling kaya khazanah peradabannya tentulah Persia. Inilah tanah bangsa Sasanid yang membangun tapak dan tradisi fikir dan pengalaman mistisme-esoterisme di antara tembok tinggi Zoroasterianisme-Budhisme. Dari Persia, Islam diperkaya dengan tradisi filsafat, kepenulisan yang tajam, perenungan dan pengalaman mistisme agama. Agama bukan persoalan rutinitas ibadah dan formalitas, tetapi memberi dan menghidang pengalaman spiritual. Mereka menyebut sebagai “jalan cinta”, ‘mazhab cinta’; agama menghidang pengalaman eskatologis.

Islam masuk ke jazirah Balkan. Ada “mini Jerusalem” bernama Sarajevo. Sebuah kota maha haibat, maha cantik yang bersandar di punggung gunung. Sebelum Islam Ustmani menerobos punggung-punggung gunung Balkan, telah berlangsung sejumlah praktek ‘tauhid Ibrahimiyah’ di tanah ini; ada Yahudi dan Kristen Ortodoks dengan sejumla ordo, atau tarikat dengan praktek ‘kasunyatan’ yang lebih mengedepankan pengalaman beragama. Lalu, Islam di tanah ini diperkaya sekaligus memperkaya; jangan heran di sebuah Sinagoge renta yang dihiasi suara adzan yang disebut dalam dialek tempatan dengan akhsam yang berasal dari masjid-masjid tua Sarajevo. Para rabi pun berdendang dengan nada liris: “Itoreri itoreri, ki va oreh kumi ori” (bangkitlah, bangkitlah, fajar telah menyingsing…). Inilah makna distribusi yang dipikul oleh Covey tentang kehidupan itu. Islam pun tampil dengan wajah sanggam, ceria, bohai dan juwita. Di Sarajevo.

Alija Izetbegovic seorang penulis Bosnia-Herzegovina yang pernah menjadi Presiden di kampung halamannya setelah perang berdarah mencabik Balkan berkata: “Islam adalah (agama) terbaik; tapi kita selaku Muslim, bukanlah terbaik; Barat tidak korupsi, juga tak merosot (moralnya); Barat kuat, berpendidikan dan terorganisasi; sekolah-sekolah mereka lebih baik dari kita; kota-kota mereka lebih bersih dari kota kita; derajat penghormatan HAM juga lebih tinggi di Barat; bahkan kepedulian pada kaum miskin; dan kaum lemah lebih baik, Masyarakat Barat kerap bertanggungjawab dan menjaga lisan mereka; Daripada membenci dan berkonfrontasi dengan Barat, sebaiknya kita ikrarkan kerjasama dengan Barat”. Artinya dari pada memikul benturan peradaban (clash of civilization) ke mana-mana, Schwart menawarkan; lebih molek kita melakukan percakapan peradaban (conversation of civilization). Dan inilah cara atau jalan distributif yang konstruktif ketika kita hidup berdampingan dengan segala serba lain. Islam dah membuktikan segi ditribusi itu sepanjang sejarahnya. “Jika Islam memang agama yang keras dan agresif, tentu ia sudah musnah sejak lama sebagaimana dialami agama pagan”, kata Stephen Sulaiman Schwart. Lalu, ketika kita hendak menghumban rasa gelisah dan galau tentang masa depan, berimajinasilah tentang sesuatu yang indah di masa kini, untuk menangkup senyum pada sebuah masa. Inilah pilihan progresif yang distributif.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline