Lihat ke Halaman Asli

Yusmar Yusuf

Budayawan

LITANI SAMPAH

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

PARA minoritas berjuang sepanjang zaman. Terpelanting oleh kekuasaan mayoritas; kebenaran tunggal yang disorak secara jamak. Kelompok minoritas adalah sampah dan berada di ujung tanduk. Berniat melawan sistem besar dan tunggal itu, ha… bakal berujung tamat. Siapa yang menjadikan ‘minoritas’ ini? Tuhan telah imun dengan peristiwa penindasan minoritas oleh mayoritas.

Tuhan tidak akan membalikkan lagi lembar waktu yang terekam di dalam kitab-kitab. Kitab suci melambungkan kisah dalam konteks zamannya, dan jinjitlah khabar-khabar itu dalam iktibar hari ini. Sebab dunia ini senantiasa bergerak ke depan atau memutar dalam garis siklik tiada henti. Litani, oracle atau nyanyian, barzanji yang dilantunkan tidak menyentuh kepedihan minoritas. Maka, minoritas itu bergerak dan mengalir bagai sampah yang hanyut di permukaan sungai. Berhenti atau terhenti oleh desakan gerak air menyudut. Berhenti bukan atas kemauan sendiri. Segala perkakas berupa rem atau break berada dalam genggaman mayoritas.

Minoritas itu sendiri sesungguhnya menjelaskan sesuatu yang berpembawaan telanjang. Dia bergerak dan berpendar di depan mata mayoritas, ialah sebuah kisah penelanjangan ke atas setumpuk perilaku mayoritas yang gelap mata, gelap sukma dan gelap akal. Seolah karena suara begitu besar dan banyak, maka mayoritas dinaikkan seranting bahkan berdahan-dahan, didulukan selangkah atau malah berdepa-depa. Litani, oracle dan lantunan barzanji tak menghiraukan kenyataan minoritas. Dia tetap bergerak dengan senandung zamannya. Minoritas tetap bergerilya hidup di celah-celah gang sempit ciptaan mayoritas.

Kaum-kaum pariah atau oketai itu; para pemulung, pelacur, puak suku kecil, kelompok iman yang terpencil, anak-anak jalanan yang ‘tak diakui’ negara. Mereka menjadi deretan sampah di dalam genangan air mayoritas. Mereka bertelanjang dan menelanjangi hipokritas kita sehari-hari. Di tangan kuasa mayoritas, seorang menteri seraya berkhutbah dengan gaya demagogi; “syarat untuk mengikuti pemilihan kepala daerah, calon yang tidak tersangkut zinah”. Zinah apa? Mendatangi rumah pelacuran? Bergundik dengan gaya slalom sekaligus selingkuh? Kawin siri? Dan deretan zinah itu akan terhampar lebih panjang oleh puak minoritas; “saya lebih bangga sebagai mantan wanita jahat, dari pada mantan wanita baik-baik,” ujar seorang minoritas yang terpojok oleh desakan mayoritas. Deretan itu akan bertambah panjang; zinah mata, zinah telinga, zinah lidah, zinah kaki, zinah hidung, zinah bibir dan sederetan zinah bergelombang. Dan kaum mayoritas pun membangun kesucian (heiligi) di atas nestapa-buruk kaum minoritas.

Ketelanjangan itu suci, bukan zinah. Pemikiran yang mendatangi ketelanjangan dengan bawaan-bawaan seksual-lah yang menyebabkan ihwal itu tersangkut zinah. Seorang pelacur yang geram bisa berkata; “semua mereka yang sok suci adalah para pezinah sejati”. Dan kaum-kaum yang sok suci itu berhimpun dalam gelak tawa serba ria dalam puak mayoritas. Sebab mereka menang suara dalam membangun opini. Mereka menguasai kanal informasi dan media untuk membentuk opini. Walhasil, minoritas yang telanjang itu sebenarnya telah menjalani pembakaran suci oleh ‘api suci’ yang tak pernah munafik dalam gelegak membara. Ada versi ceritera Nabi Ayub dalam bahasa Belanda: “Naakt bek ik uit mijne moeders buik gekomen, en naakt zal ik daarhenen wederkeren” -- “dengan telanjang aku keluar dari rahim bundaku, dan dengan telanjang pula aku akan kembali ke dalamnya”. Begitulah minoritas menyelenggarakan hidupnya di tengah kepungan manyoritas yang gelap akal, sukma dan renjana. Kenapa takut bertelanjang, ketika sulingan litani, oracle atau barzanji yang tak peduli kehidupan para oketai -- sampah?

Maka para oketai bergerak dari zaman ke zaman membawa kisah tentang keperihan, tentang ketiadaan pilihan, tentang tiada kisah memilih, karena dipilih. Kehidupan para minoritas ditentukan oleh mayoritas. Mereka dipilih dan ditapis oleh kehendak para mayoritas. Hak-hak personal dihambat baik sebagai manusia ataupun sebagai warga dari sebuah negara. Minoritas adalah sebuah kisah yang berasal dari dunia antah berantah. Mata minoritas akan berbeda dengan mata mayoritas dalam melihat peluang dan sumberdaya. Bagi mayoritas, segala yang terpampang di depan mata adalah pemandangan, pigura, sesuatu yang lezat untuk dinikmati mata. Karena mayoritas mendapat jaminan kata-kata, fatwa atau peluang kolusi. Tiada yang mengawal dan mengawas. Mayoritas bak paduka yang memejamkan mata di atas penderitaan minoritas yang terdedah.

Sebaliknya, mata minoritas melihatnya secara terbalik. Segala makhluk dan benda yang berpendar di depan mata adalah komoditi untuk sebuah pertahanan hidup. Kehidupan bagi minoritas adalah perjalanan dari hari ke hari. Mereka tak ingin memilih dan dipilih sebagai kaum minoritas. Tetapi sejarah selalu tidak adil dalam perbuatan memilih. Siapa yang menang dalam nukilan sejarah, maka dialah penguasa. Di negeri jauh, malah terjadi kisah balikan; minoritas yang memegang kuasa. Sunni di Irak, memerintah dan melayari Syiah yang mayoritas. Itu kejadian di zaman Saddam. Tapi bagi Islam, kejadian ini bukan sebuah nestapa, dan tak perlu dipertentangkan. Yang mempertentangkan dan memperkarakan ihwal ini adalah Barat. Seolah lipatan sejarah ribuan tahun antara Sunni dan Syiah adalah lipatan yang belum resmi tergulung. Dia bisa diungkai kembali dalam pertarungan dan konflik tentang penguasaan atas sumberdaya.

Laksana hamparan taman yang teduh, hijau dan berbunga. Keindahan taman itu akan kian lengkap ketika taman tadi dipenuhi sampah sesekali. Kehadiran sampah menggesa orang untuk membersih taman, dan sekaligus menyuling tentang makna bersih. Kehadiran sampah membuat kita tahu, apa sebenarnya hakikat bersih dan sehat itu.

Sampah itu memikul tugas-tugas naratifnya sendiri di tengah keinginan orang untuk bersih. Sampah juga menjadi pendorong bagi tumbuh dan berkembang kehidupan dan jasad renik. Bahwa tiada yang sia-sia di permukaan bumi ini, segala sesuatu membawa tugas naratif dan penyelesaian naratif pula.

Alangkah malangnya di sebuah negeri yang tak mengenal sampah. Kita menjadi gerun ketika, kehidupan ini hanya berlangsung dalam keseragaman. Minoritas itu hakikatnya memberi kemuliaan kepada mayoritas. Tiada kelompok yang digelung dalam dugaan sampah, maka tiada pula kelompok yang dimuliakan seranting. Tiada makmum, maka shalat itu akan berjalan secara perorangan, tanpa jemaah. Jarak mayoritas dan minoritas bukanlah jarak kasta atau pengkastaan. Dia adalah peristiwa hulu dan hilir. Sebuah peristiwa siapa yang dulu dan siapa yang kemudian. Siapa yang di depan dan siapa yang di belakang.

Ihwal ini hanya persoalan perjalanan sejarah dan pertarungan dialektika yang berlangsung dalam kebijaksanaan sejarah. Minoritas ialah sebuah berkah. Kita merasakan nikmatnya ber-Tuhan ketika kaum kerabat yang ada di sekeliling kita, tidak seiman dengan diri kita. Tuhan terlalu imun untuk dilibatkan dalam persoalan dan konflik-konflik buatan manusia. Tuhan bukanlah tuan, yang senantiasa ingin campur tangan dalam konflik sekecil apapun. Sebuah remeh-temeh imajinasi.***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline