Lihat ke Halaman Asli

Yusmar Yusuf

Budayawan

Punca Mata Air (kepada HJ)

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lelaki itu datang dengan langkah panjang. Bermula dari setangkai cerita: Dia memikul masa lalu yang tinggi, memucuk dan wangi. Di sebuah kota yang baru dikuak embun, berkat perceritaannya, segala nun jauh menjadi dekat. Segala “sesuatu’ (die Dingen) bersalin menjadi ‘’hal-ihwal’’ (der Sachen). Dia menghadirkan segala khazanah melalui penceritaan yang lemak; dan rangkai-berangkai, lalu cerita itu menjadi jahitan-jahitan baru, sehingga menghadirkan cerita-cerita yang tak terduga. Kepiawaian bercerita, imbang dacing dengan kepetahan menulis. Kepiawaian bercerita ini lalu menjelma jadi dinamit baru, untuk sebuah ledakan mengenai kesadaran alias conscience. Ledakan kesadaraan ini, membentuk jamaah pemikiran pada sejumlah orang yang resah dan bergairah di pusat-pusat kebudayaan dan universitas.

Pikulan berat dalam bentuk ingatan sejarah peradaban manusia, beban sejarah kebudayaan dan pemikiran, endapan bacaan melintas benua, seakan menemukan buku dan ruasnya pada sebuah penggalan zaman. Ya, di awal era 80-an Hasan Junus, menjatuhkan pilihan pada sebuah kota yang tak diperhitungkan di tanah Perca, dari segi apapun. Dan kota ini, bak bunga baru mekar, diserbuk kumbang pemikiran yang teramat wangi; dari Paris, Berlin, sesekali menusuk jantung Lahore, kembali ke Roma, Athena, Nicosia, lari ke dunia Swahili di pantai timur Afrika, dan yang paling lemak adonan pemikiran negara-negara pengguna bahasa Perancis di Magribi (Aljazair, Tunisia, Maroko). Hasan membingkai semua capture itu dengan bingkai menawan, dalam rasa lokal. Dan mudah dicerna…

Dan… lelaki itu setia dengan setangkai cerita. Dia tak mudah tergoda dengan gaya pasar, selera pasar, kehendak pasar atau yang paling sering disebutnya sebagai kebudayaan bazaar. Dia bertabiat membentuk pasar. Bukan didikte oleh kemauan pasar. Anda bayangkan, andaikan Riau mengikut selera pasar pada ketika awal persemaian Melayu, maka berlakulah metahistoria Blaise Pascal tentang Monalisa. Dan kebudayaan Melayu ini akan menjadi pesong. Dia setia merantai diri dengan segala yang berbau senyap. Tak terpukau dengan segala pikuk perbuatan depan panggung. Karyanya, ceritanya, amat tegak, mayor, jahar, jarang minor. Dia terlalu gagah memikul tugas kelelakiannya.

Semangat profetik, satu elan vital yang menerpa pemikiran, ketika dia menggali segala pemikiran Eropa, Cina dan Jepang. Dia menjelma bak seorang demagog, namun siap berdebat, seraya memegang tongkat dan berdiri tegak di atas sebuah pucuk bukit. Cerita asal itu pun bertangkai-tangkai, merumpun dan merimbun. Dia dilahirkan sebagai ‘seorang penggugah’. Sesekali sebagai juru bedah kepada generasi hijau dan beku demi memanjat warna tinggi yang disediakan buana. Sebagaimana Jibril yang melaksanakan pembedahan kepada Muhammad, suci di atas lempeng batu, demi memanjat arasy tugas yang lebih tinggi, demikianlah Hasan Junus melakukannya dalam analogi dalam sisi yang lain, di sebuah medan laku: medan kebudayaan dan pemikiran.

Saya seorang penggoda muda kala itu. Saban waktu ketika bersua, saya goda dengan pemikiran para filsuf Barat; Soren Kierkegaard, Nietsczhe, Simone de Beauvoir. Dia bak samudera maha luas dan dalam, tenang, beralun. Dia ubah jadi penceritaan nan molek dalam putik-putik puitikal para pemikir Barat, menjelma jadi setangkai bunga nan wangi, tak menyeramkan. Pemikiran ekstensialis yang teramat gerun untuk dipahami, menjadi longkah dalam kubakan Hasan. Dia seorang yang piawai membangun analogi pucuk Everest menjadi peristiwa mainan kanak-kanak belaka. Tradisi pemikiran Katholik di Spanyol, tidaklah begitu memucuk dalam capaian filsafat Eropa. Namun Hasan memikul satu tokoh kecil tapi besar, membungkusnya dalam filsafat olahraga, fisika dan sejarah melalui tokoh Ortega y Gasset. Dan Spanyol pun menjadi besar ranggi. “Homo Ludens” ialah bacaan berat dan tinggi, namun menjadi cerah, geriang dan jenaka di tangan Hasan.

Dunia goda-menggoda antara saya dan dia, pertinjuan pemikiran yang tak berujung, membuat saya jadi seorang yang resah. Hasan berpengaruh kepada diri saya untuk menggeluti bahasa-bahasa Eropa; saya belajar bahasa Belanda kala petang di sebuah gereja hingga Erasmus Huis selama tiga tahun. Saya berkirim buku mengenai bahasa orang Vlaam dan bahasa rumpun Germania hingga Nordik. Saya studi bahasa Jerman di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institut selama dua tahun, belajar bahasa Perancis walau sekilas. Mendalami musik Barok dan musik Klasik. Hasan Junus adalah pengganggu akal budi dan curiosity.

Bak punca mata air yang berawal di titik perdana pada sebatang sungai, Hasan adalah titik air perdana yang menjadi sumber bagi sebatang sungai. Gerakan arus batang sungai yang begitu deras menuju muara, berliku dan membentuk anak-anak sungai, teluk, suak dan tanjung di sepanjang perjalanan itu, menerobos muara hingga menggenang samudera. Namun deras dan lajunya arus sungai itu tak sedetikpun terputus dengan mata rantai punca mata air perdana yang berada di hulu sungai yang sejuk dan senyap itu.

Itulah Hasan dalam lautan ilmu, dia bak gerakan arus yang bergerak menerjang dan membentuk estuary, menggenang segara, namun titik air bernama nilai Melayu itu tak sedetik pun putus dari pemikiran Hasan, walau dia menyelam dalam kedalaman perigi purba Eropa, Yunani, Mesir, Mesopotomia, Tiongkok kuno, Jepang era Edo. Dia tetap Melayu dalam segala laku dan perbuatannya. Baginya berlaku ungkapan Soren Kierkegaard ini: “Anxiety is the dizziness of freedom”. Atau yang lebih menukik lagi, dengan sejarah kehilangan ragawi yang dipersaksikan oleh sebuah zaman yang serba sumbang ini, ujaran bersayap ini bisa hinggap untuk jadi renungan: “Because of its tremendous solemnity death is the light in wich great passions, both good and bad, become transparent, no longer limited by outward appearences”. Hasan datang ke benua Sumatera ini mengajar orang-orang sini; menulis dan bercerita.

Saya menutup renungan ini dengan sedutan Ludwig Witgenstein mengenai Kierkegaard: Kierkegaard adalah pemikir yang paling mendalam yang datang dari abad ke-19. Dan analoginya, Hasan Junus adalah pemikir Melayu yang tajam menukik, membanikan pemikiran menjadi benua resah dan kreatif bagi orang Melayu serata buana dari pangkal abad 20 ke pangkal abad 21.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline