Masih ingat dong! sama Andi Mallarangeng. Terus terang saya bukan pengemarnya apalagi pengagumnya, terutama setelah menjadi tersangka kasus korupsi. Tetapi saya salut dengan sikapnya. Andi Mallarangeng tidak menyalahkan orang lain, dan terus menulis walau dari dalam tahanan, mencerahkan.
Seakan tak percaya, seorang yang segemilang ini terjerumus pada praktek ”jahat” yang disangkakan kepadanya.
Membaca tulisan-tulisan ANDI MALLARANGENG pada sebuah media on-line, mengesankan tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Dia lebih “nrimo” dibandingkan koleganya, sebut saja Anas Urbaningrum misalnya. Mungkin begitulah sikap “kenegarawanan” yang ingin Andi tunjukan. Toh perjalanan masih panjang. Masuk penjara bukan akhir perjuangan, setidaknya begitulah yang terjadi pada sejumlah tokoh terkenal di dunia ini.
Jika Presidennya Habibie, mungkin ceritanya akan lain. Karena Habibie berpendapat apabila seseorang menjadi pejabat, dia harus melepaskan semua “embel-embel” kepartaian. Keluar dari Partai Politik yang menjadi kendaraannya menjadi pejabat kemudian berganti menjadi milik “rakyat” yang dipimpinnya.
Masih melekatnya sikap kepartaian pada diri seorang pejabat eksekutif ( baik Presiden, Mentri, Gubernur dan seterusnya) apalagi menjadi Pengurus Partai Politik. Menjadikan seorang pejabat tidak dapat “bekerja” seratus persen, karena pejabat ini juga terbebani tugas “berpolitik”. Dan kemudian jika boleh dibilang pejabat ini akan “bekerja” mengurusi partainya.
Di sisi lain kinerja para pejabat ini akan dinilai subyektif oleh pihak yang berseberangan, walaupun sebenarnya beliau-beliau sudah benar-benar “bekerja” untuk “rakyatnya”.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa “ongkos-politik” di Negara ini sangat besar. Bayangkan Parpol harus mensosialisasikan “program”nya lewat iklan media. Belum lagi biaya “keperluan politik lainnya” yang tentu saja sebagai orang awam, saya tidak tahu persis.
Karenanya teori yang menyebutkan beberapa kasus korupsi (baik yang telah diputus maupun belum) saat ini adalah dalam rangka mempersiapkan “dana” untuk semua itu, bisa jadi ada benarnya. Buktinya ada beberapa partai politik hingga sekarang belum kelihatan iklannya di media. Atau kalaupun ada sangat sedikit dibandingkan partai yang lain. Mungkin kita bisa ber-asumsi bahwa partai politik tersebut punya strategi lain yang bukan berupa iklan di media. Atau anda berpendapat bahwa partai tersebut memang tidak punya “duit” untuk membiayai iklannya. Anda yang memilih.
Dan jangan kaget jika kita mendengar “tidak ada teman abadi yang ada kepentingan abadi” dalam berpolitik. Dan itulah yang terjadi saat partai-partai yang sebenarnya bersahabat dan kemudian berbeda pendapat tentang masalah lain. Tetapi “spontan” sepakat tentang “dana” saksi parpol dalam pemilu mendatang.
Ah, ….. saya kembali ke Andi Mallarangeng, seandainya Presidennya Habibie. Maka tidak ada Menteri yang menjadi anggota atau Pengurus Partai Politik, mungkin Andi tidak perlu menjadi tersangka kasus hambalang.
Tetapi apa gunanya kita berandai-andai. Sekarang ada Jokowi. Jika pemilihan Presiden dilakukan sekarang maka Jokowi-lah presidennya, begitu kata banyak survei. Jika bangsa ini tidak mau dibilang seperti keledai yang terjerumus pada lubang yang sama, maka Jokowi dan Kabinetnya, harus keluar dari bayang-bayang partai politik apapun apalagi menjadi pengurus. Supaya sang Presiden dan Kabinetnya bisa bekerja dan tidak “nyambi” berpolitik.
Jika Jokowi ber-prestasi, rakyat tidak akan lupa dari partai mana Jokowi berasal.
Sharing aja …… matur nuwun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H