Anak Kost Pingsan
Penulis: Yusmaini
Hari itu Kamis sore, aku dan dua orang anakku sedang duduk-duduk di teras depan rumah. Duduk santai sambil lihat-lihat orang yang lalu-lalang lewat jalan depan rumah kami yang merupakan jalan lorong alternatif. Di ufuk barat terlihat mentari mulai bergerak ke peraduannya. Tak jauh dari rumah, rombongan walet kecil mulai masuk ke sarangnya. Tiba-tiba terdengar handphone ku berdering. Ku suruh salah seorang anakku mengambilnya. "Siapa, nak?" tanyaku.
"Mbak Indah, Bu." jawab anakku. (Sambil menyerahkan handphone).
Aku langsung kepikiran, kok sore-sore nelpon, mau maghrib lagi. Segera ku angkat handphone itu.
"Ada, apa, Indah?" tanyaku.
"Bu, Santi pingsan!" jawabnya.
"Haah, pingsan...!?" ya, nanti Ibu ke sana." ujarku.
Indah adalah penjaga rumah kostan kami yang mempunyai dua orang anak yatim. Suami Indah sudah lama meninggal dunia karena sakit jantung. Santi adalah seorang mahasiswa baru yang tinggal di kostan kami. Dia memilih program studi biologi.
Mendengar kabar itu pikiranku jadi tak karuan, gelisah, terbayang dalam benak ini si Santi sudah mengalami hal yang terburuk. Kulihat jam di dinding ruang keluarga sudah menunjukkan pukul enam sore tepat, suara orang mengaji di mesjid dekat rumahku sudah terdengar. "Wah sebentar lagi maghrib. Bagaimana ini " pikirku.
Segera ku ambil handphone dan ku telpon sopir pribadi kami untuk mengantar ke kostan setelah maghrib. Aku enggan meminta suamiku untuk menyetir mobil karena beliau baru saja pulang dari kantor, kasihan masih letih.
Tak lupa pula hal ini ku beritahukan pada suami.
"Pak, jam tujuh kita pergi, ya." Pintaku.
"Ya, Bu." jawab sang suami.
Setelah sholat maghrib, kami membaca Surah Yassin berjamaah bersama anak-anak. Kegiatan ini sudah menjadi kebiasaan keluargaku setiap malam jumat. Malam itu tak baca tahlil lagi, suamiku langsung saja mengakhiri dengan doa singkat. Selesai makan malam sedikit, aku dan suami beserta sopir langsung tancap gas meluncur ke kostan. Jarak tempuh rumahku dengan kostan cukup lumayan jauhnya kira-kira 20 km lebih sedikit. Waktu perjalanan kira-kira 30 menit kalau tidak terjebak macet.
Menjelang jalan ke luar kota ada empat lampu merah yang harus kami lalui. Aku meminta supir agar melewati jalan alternatif agar tidak terjebak kemacetan. Memang jalan ini agak sepi kalau malam dan sedikit rawan. Tapi biarlah ku pikir, banyak-banyak saja berdoa agar sampai cepat dan selamat ke kostan. Dalam mobil sebentar-sebentar ku lirik jam tangan, namun mataku sekali-kali juga memperhatikan amper kecepatan mobil dan tangan supir. Rasanya ingin aku sendiri yang setir mobil.
Rupanya sang suami tercinta memperhatikan kegelisahanku.
"Bu, sabar... tenang saja, banyak-banyak saja berdoa," katanya.
"Bisa nggak agak cepat, Mas Sopir?" cetusku.
"Kalau sudah malam begini, ya ndak bisa terlalu cepat. Lihat tuh, barisan tronton batu bara sudah ke luar, ditambah lagi bus-bus antar kota antar propinsi juga mulai bergerak, ini kan jalan Lintas Sumatera, bahaya kita kalau nekat nyalip!" tegas suamiku sedikit tinggi nada suaranya. Aku pun lalu terdiam. Sebentar-sebentar ku "chart" si Indah menanyakan keadaan Santi. Yang terbayang di benakku si Santi pasti sudah tak sadarkan diri, menggelepar-gelepar, meronta-ronta, atau mungkin... aduuh... jangan sampai terjadi yang satu itu... Oh, Tuhan selamatkan Santi.
Tak lama kemudian sampailah mobil kami di muka gapura komplek perkostan depan kampus. Jaraknya kurang lebih tiga ratus meter dari gapura tibalah kami di kostan. Rumah bertingkat dua dengan cat
dinding warna pink , lampu teras yang terang benderang. Malam itu sudah ramai ku lihat orang berkumpul di depan kostan. Sepeda motor banyak yang terparkir, dan ada sebuah mobil Rush warna hitam juga berdiri tegak di depan rumah. Sayup-sayup terdengar di telingaku ramai suara orang baca Surah Yassin dari dalam kostan. Duuh ... apa yang terjadi ini, perasaanku sudah tak enak sekali. Mobil kami lalu parkir di tempat yang aman. Aku lalu bergegas turun dari mobil dan berusaha menenangkan diri sendiri. Rasanya kaki ini berjalan melayang saja. Tak terasa lagi menginjak bumi.
Dari depan rumah, si Indah sudah mengejarku. "Alhamdulillah Ibu sudah sampai." ucapnya.
"Ada apa Indah kok jadi ramai begini, baca Yassin lagi, siapa anak-anak ini?" tanyaku bertubi-tubi melihat keramaian di kost. "Mereka teman kuliah Santi, Bu. Tadi ikut membantu menenangkan Santi." jelas Indah.
"Ohhh...mana Santinya?" tanyaku tak sabar sembari mataku berkeliling mengamati keadaan isi rumah malam itu.
"Tuuh, sudah duduk di kursi tamu." jawab Indah menunjuk ke arah Santi yang sedang dikerumuni teman-teman wanitanya. "Haah... sudah duduk!" Langsung saja ku tepis kerumunan anak itu dan ku peluk Santi sambil menangis terharu. Ku cium pipinya yang masih basah oleh air mata.
"Bu...!" ucapnya lirih. Dengan tatapan lesu sementara bibirnya masih terlihat pucat pasi.
Lalu Indah menceritakan semua kronologis kejadiannya. Rupanya sedari kemarin Santi makan tidak teratur, mana harus mengikuti Masa Orientasi Kampus dari pagi sampai sore. Dan ternyata 'maagnya' kambuh. Santi sempat kejang-kejang dan agak aneh tadi, jadi teman-temannya berinisiatif membaca Surah Yassin. Alhamdulillah Santi sudah sadar kembali, Amiin. Terasa ploong... dadaku.
Jambi, 8 September 2023.