Lihat ke Halaman Asli

Yusmaini

Profesi: Guru SD, instansi: SDN 13/IV Kota Jambi

Guru Ngaji

Diperbarui: 16 Juli 2023   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Guru Ngaji
Penulis: Yusmaini
(Diary)

Dulu, sewaktu aku kecil banyak sekali guru ngaji di tempat tinggal kami. Suasana kampung yang aman, damai, dan masih penuh asri alam pedesaannya. Sangat tenang dan damai dengan suara pengajian anak-anak setiap malam berkumandang. Saat itu di kampungku ada beberapa tempat pengajian. Di rumah para guru ngaji. Ada 4 sampai 5 guru ngaji sekampung. Ada guru ngaji laki-laki dan ada juga yang wanita. Para guru ngaji itu memang tak diragukan lagi kepiawaiannya. Mereka Ada yang jebolan pesantren, bahkan ada yang qori atau qoriah. Ibuku termasuk salah seorang diantaranya. Ibuku masa mudanya adalah qoriah. Tak ada yang tak kenal dengan ibu pada zamannya. Pernah ibu menceritakan padaku bahwa pada zamannya setiap ada yang melangsungkan acara pernikahan, ibu sering diundang untuk mengaji.

Setiap malam usai maghrib, berduyun-duyun anak-anak pergi mengaji ke rumah guru ngajinya. Ada yang pergi sendirian, dan ada pula yang bersama teman. Menjelang sampai ke rumah guru ngaji, mereka sambil bersenda gurau di jalan. Sungguh senangnya. Bercengkerama sambil menuntut ilmu. Ada pula yang diantar oleh orang tuanya.

Masa itu para orang tua sangat hormat kepada yang namanya "guru". Tak luput pula dengan guru ngaji anaknya. Bentuk rasa hormat dan terima kasih orang tua terhadap guru bermacam-macam perwujudannya. Mereka memberikan apa yang bisa dilakukan terhadap guru sesuai kemampuan masing-masing. Saat itu penuh ikhlas para guru melakukan pekerjaannya tanpa mengharap imbalan. Mereka hanya mengejar pahala akhirat.

Pada zaman itu guru ngaji tak berbayar. Menuntun anak mengaji seikhlasnya. Aku masih ingat saat ibuku me ngajar ngaji anak-anak di kampung kami. Sebulan sekali ada beberapa murid ngajinya yang membawa minyak lampu, sebungkus gula, kopi, teh, dan lainnya. Saat itu belum ada penerangan lampu listrik. Begitulah pada umumnya wujud partisipasi orang tua terhadap guru ngaji zaman dulu. Setiap bertemu, mereka selalu menyapa hormat dan sopan santun.

Tapi kini di zaman "now" sebutan keren anak kekinian, sudah jarang kita temui guru ngaji di setiap kampung. Kalau pun ada tidak begitu banyak lagi. Pengajian anak kini pun sudah banyak di masjid-masjid, tak lagi banyak di rumah guru ngaji. Ada pula yang menggunakan sistem private terhadap guru ngaji dari rumah ke rumah. Itu berarti berbayar. Juga sudah banyak sekolah yang menambah jam pelajarannya dengan kegiatan mengaji para siswanya. Hingga pulang sekolah pun menjelang sore. Orang tua tak keberatan. Begitulah sistem mengaji anak masa kini.

Zaman telah berubah, mau tak mau segalanya pun berubah. Perkembangan teknologi pun semakin pesat kemajuannya. Membuat segala sesuatu serba dapat dan terasa mudah dilakukan. Dunia terasa kecil. Jarak pun terasa serba dekat. Sistem mengaji juga serba mudah dengan kecanggihan teknologi saat ini. Mengaji bisa belajar sendiri di rumah melalui fasilitas serba canggih dan digitalisasi.

Begitulah cerita tentang keberadaan guru ngaji saat ini. Tergerus oleh perkembangan peradaban manusia. Sejatinya kita tetap merindukan guru ngaji sebagai tuntunan bekal hari akhir. Wassalam.

Kota Jambi, 15 Juli 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline