Lihat ke Halaman Asli

Peka atau Tidak?

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Melulu permasalahan tentang kepekaan melanda. Kini kepekaan belum juga mengakar hangat dalam kebiasaan bahwa ia adalah sumber dari pemaknaan suatu keadaan. Jauh sebelum itu kepekaan digunakan sebatas merasakan kenikmatan dalam mengelola keadaan. Namun di lain sisi kepekaan menawarkan berbagai solusi mutakhir dimana seseorang dapat memperoleh kenikmatan terdalam bersamanya.

Kepekaan diangap sesuatu yang paling menentu dalam hal ini agar lakuan menjadikan seseorang mampu menelaah secara mendalam ada apa di balik peristiwa. Kepekaan awalnya hanya rasa yang biasa. Namun bila dipikir-pikir dialah yang mengantarkan rasa positif dalam memandang suatu keadaan. Ya, positif karena kepekaan adalah kemampuan untuk peka terhadap sesuatu. Peka dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai mudah merasa; mudah terangsang yang mana dalam hal ini dia mendukung manfaat dari peka tersebut.

Nah, sekarang pertanyaannya ‘Apakah setiap orang memiliki rasa peka? Bagaimana mengasahnya?’ Pertanyaan perihal cara adalah pertanyaan khas yang sering saya lontarkan kepada orang yang saya rasa memiliki daya peka yang tinggi. Tapi apa boleh buat. Manusia tidak pernah mencapai puncak kepuasaan. Pertanyaan itu akhirnya menjadi hantu dalam otak saya yang mengharuskan saya untuk berpikir ulang. Dan ternyata kuncinya hanya satu yang masih saya temui yakni dengan meraba hal-hal yang ada di sekeliling kita dengan ranah berpikir positif menuju pemahaman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline