Sebagai kota pelajar, Yogyakarta selalu menjadi kota pilihan bagi orang-orang untuk melanjutkan pendidikan mereka pada tingkat yang lebih tinggi lagi. Potensi pendidikan yang ada di Yogyakarta tidak hanya di minati atau diakui oleh masyarakat setempat saja, akan tetapi juga oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Sehingga di kota Yogyakarta sendiri, banyak berdatangan orang-orang dari luar kota untuk menuntut ilmu, terutama mahasiswa. Dengan mendapat julukan sebagai kota pelajar, hal tersebut justru menjadi peluang bisnis bagi warga Yogyakarta sendiri. Peluang bisnis yang dilakukan warga Yogyakarta yaitu dengan membuka kos-kosan bagi para mahasiswa, terutama bagi mahasiswa yang datang dari luar kota.
Banyaknya perguruan tinggi yang ada di kota Yogyakarta, membuat bertambahnya mahasiswa dari luar kota yang berbondong-bondong datang untuk memilih perguruan tinggi mana yang menurut mereka sesuai dengan keinginannya. Sehingga bisa dibayangkan berapa banyak kos-kosan yang ada di kota Yogyakarta. Hal tersebut, secara tidak langsung akan memicu bertambahnya sampah yang dihasilkan dari beberapa kos-kosan. Dengan begitu, otomatis tingkat volume sampah yang dihasilkan setiap hari juga semakin meningkat bagi kota Yogyakarta. Sampah kini berpotensi besar menjadi masalah yang serius di Yogyakarta.
Melihat fenomena tersebut, banyak orang yang memilih untuk bertahan hidup bertumpu pada berbagai pekerjaan sektor informal dan salah satu yang paling sering terlihat disekitar kita adalah pemulung. Pengertian pemulung menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang mencari nafkah dengan jalan mencari dan memungut serta memanfaatkan barang bekas (seperti puntung rokok) dengan menjualnya kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditas. Maka bisa dikatakan bahwa pemulung adalah orang yang bekerja dengan mengais sampah untuk mendapatkan uang dari apa yang mereka dapatkan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Beberapa waktu yang lalu saya melakukan liputan dalam Comicos UAJY 2017, saya tertarik dengan salah satu penelitian yang berjudul Pemberdayaan Kesehatan Pemulung. Di daerah Yogyakarta sendiri, kita dapat menemui para pemulung salah satunya di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul yang menjadi sentral pembuangan akhir sampah di beberapa wilayah Yogyakarta diantaranya dari Kabupaten Bantul, Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo dan kota Yogyakarta.
Tidak hanya dari wilayah Yogyakarta saja, tetapi TPST Piyungan juga mendapat kiriman sampah dari beberapa luar kota yaitu Magelang, NTT/Flores, Blora, Klaten, Riau, Grobogan dan Wonogiri.
TPST Piyungan, Bantul ini berdiri pada tahun 1992. Di TPST Piyungan tersebut, kita dapat menjumpai pemulung bersama sapi mencari rejeki untuk bertahan hidup, kira-kira ada sekitar kurang lebih 600 an pemulung dari berbagai wilayah. Pemulung di sana, mengais sampah-sampah yang sekiranya masih bisa diolah kembali untuk menjadi barang komoditas. Setiap harinya para pemulung TPST Piyungan mendapatkan gaji sebesar Rp. 80.000.
Sedangkan sapi-sapi yang ada di kerumunan sampah, merka mencari makanan sisa yang masih dapat dimakan. Bisa dikatakan bahwa TPST Piyungan menjadi sumber kehidupan dan penghidupan bagi sebagian masyarakat.
Setiap hari, para pemulung bergelut dengan lingkungan yang kotor dan jauh dari kondisi layak. Mereka mengais sampah-sampah yang ada di TPST tersebut tanpa menggunakan pengamanan diri seperti berupa sarung tangan, masker dan lain sebagainya. Kemudian setelah bekerja dan istirahat untuk sekedar makan, dengan keadaan badan yang kotor mereka langsung saja melahap makanan yang ada tanpa mencuci tangan mereka.
Serta di TPST Piyungan belum disediakan jamban atau tempat untuk membuang kotoran, sehingga mereka yang ingin BAB langsung saja di kerumanan sampah-sampah yang ada, padahal disitu ada juga sapi yang makan dari sampah-sampah tersebut. Isu kesehatan menjadi isu krusial bagi pemulung yang berada di TPST Piyungan, mereka belum menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Sehingga, para pemulung yang ada di TPST Piyungan rawan terhadap kecelakaan kerja dan terjangkit berbagai penyakit, jika perilaku serta kebiasaan mereka selalu seperti itu. Karena hal tersebut, pemberdayaan kesehatan bagi para pemulung menjadi sangat penting.
Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan merupakan proses membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku dan pengorganisasian masyarakat bidang kesehatan (Permenkes No. 65 Tahun 2013). Dari pemerintah sendiri, memberikan pelayanan kesehatan kepada para pemulung. Pemerintah mendatangkan tenaga medis ke TPST Piyungan sampai dengan tahun 2015 setiap 2 minggu sekali.
Pemeriksaan kesehatan umum hanya berdasar pada keluhan para pemulung, serta yang datang hanya sekitar 15 sampai 20 orang saja. Karena pemeriksaan hanya bersifat umum tidak spesifik jenis penyakit dan masih rendahnya kesadaran pemulung tentang tingginya potensi terserang berbagai penyakit. Hanya saja, pelayanan kesehatan yang diberikan belum cukup optimal, karena waktunya bertabrakan dengan jam kerja para pemulung yaitu pada pagi hari pukul 09:00 WIB.