MENGAHAPUS BATAS MENGGALI POTENSI DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF
Pendidikan merupakan salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga pendidikan baik formal, informal, dan non formal (Pratiwi,2015). Sekolah merupakan contoh dari lembaga pendidikan yang bersifat formal. Dewasa ini, peran sekolah sangat penting. Sekolah tidak hanya sebagai wahana untuk mencari ilmu pengetahuan saja, tetapi juga sebagai tempat yang dapat memberi bekal keterampilan untuk hidup yang nanti diharapkan dapat bermanfaat di dalam masyarakat. Di sekolah anak juga dibimbing untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap umat manusia tanpa terkecuali, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UU RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 5 bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, yaitu pendidikan luar biasa. (Damayanti, 2015).
Keberadaan sekolah tidak saja penting bagi anak normal, melainkan bermanfaat pula untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki keterbatasan dan kekurangan ketika harus berinteraksi dengan orang lain. Praktik penyelengaraan Pendidikan bagi anak berkebeutuhan khusus sejak 1901 telah diselengarakan oleh Lembaga-lembaga sosial Masyarakat(LSM) maupun kelompok keagaaamn. Pemerintah baru mengabil peran secara nyata sekitar tahun1980-an dalam bentuk pendirian sekolah dasar luar biasa (SDLB) diamana anak berkebutuhan khusus di didik Bersama dalam satu sekolah dan mereka masih terpisah dengan anak- anak normal(segregasi).
Pendidikan inklusif menjadi alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami keterbatasan fisik namun masih dapat mengikuti materi yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Banyak diantara mereka yang bersekolah di sekolah umum dapat mengikuti pembelajaran dan bahkan mampu mengalahkan anak-anak yang tumbuh dengan fisik yang utuh dari materi yang diujikan kepada mereka. Dengan bergabungnya mereka di sekolah reguler (non SLB) memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat bersosialisasi dengan anak yang tumbuh dengan normal untuk membantu perkembangan emosional anak tersebut agar tidak menjadi anak yang minder, dan bahkan menganggap diri mereka sama dengan anak yang lain. Hal inilah yang mendasari pendidikan inklusif diselenggarakan. (Hafiz, 2017).
Pendidikan inklusif merupakan cara pandang tentang Pendidikan yang terbuka dan menghargai hak asasi manusia. Hal ini menyebabkan meningkatnya penghargaan dan pengakuan terhadap keberagaman perbedaan. perbedaan tidak lagi dipandang sebagai penyimpangan melainkann dilihat sebagai sumber pengayaan. Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah.
Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah. (M. Baihaqi dan M. Sugiarmin) menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa.
Hak dan kesempatan itu tidak dibedakan oleh keragaman karakteristik individu secara fisik, mental, sosial, emosional, dan bahkan status sosial ekonomi. Pada titik ini tampak bahwa konsep pendidikan inklusif sejalan dengan filosofi pendidikan nasional Indonesia yang tidak membatasi akses peserta didik kependidikan hanya karena perbedaan kondisi awal dan latar belakangnya. Inklusifpun bukan hanya bagi mereka yang berkelainan atau luar biasa melainkan berlaku untuk semua anak. (Herawati, 2016).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H