Pada tahun 2019, sekumpulan guru di Provinsi Banten mulai berjuang untuk meraih kesempatan menjadi pengawas sekolah. Mereka mengikuti berbagai tahapan seleksi yang panjang dan melelahkan, dari ujian hingga pelatihan yang bertujuan untuk mempersiapkan mereka menjadi pengawas yang kompeten. Namun, lima tahun telah berlalu sejak mereka memulai perjalanan ini, dan banyak dari mereka masih terjebak dalam ketidakpastian. Kisah ini bukan hanya tentang penantian yang panjang, tetapi juga tentang ketidakjelasan mekanisme pengangkatan yang menimbulkan ketidakadilan dan kekecewaan mendalam di antara para calon pengawas.
Ketidakjelasan Mekanisme Pengangkatan
Proses seleksi dan pengangkatan pengawas sekolah di Banten, yang seharusnya didasarkan pada prinsip meritokrasi dan objektivitas, justru menjadi sumber ketidakpastian dan frustrasi. Banyak calon pengawas yang berhasil mencapai hasil diklat dengan kategori "sangat memuaskan" disertifikat kelulusan, tetapi tidak dilantik. Sebaliknya, beberapa kandidat yang hasil evaluasinya hanya "memuaskan" justru mendapatkan kepercayaan dan dilantik sebagai pengawas.
Kasus ini semakin rumit dengan adanya beberapa guru penggerak, yang juga merupakan calon pengawas, yang tidak dilantik meskipun telah dinyatakan lulus dan memiliki sertifikat guru penggerak. Guru penggerak adalah individu yang telah melalui pelatihan khusus untuk memimpin dan menggerakkan perubahan di sekolah mereka, yang seharusnya menjadi modal besar dalam menjalankan tugas sebagai pengawas. Namun, kenyataannya, mereka yang memiliki sertifikat guru penggerak ini malah terpinggirkan, sementara individu lain yang mungkin tidak memiliki kualifikasi serupa justru diangkat menjadi pengawas.
Ketidakadilan dalam proses pengangkatan ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah penilaian dalam proses seleksi benar-benar didasarkan pada kompetensi dan hasil evaluasi, atau ada faktor lain yang bermain di balik layar? Apakah sistem ini benar-benar transparan, atau ada kekuatan yang tidak terlihat yang mempengaruhi hasil akhir?
Bagi banyak calon pengawas, pengalaman ini bukan hanya menguras tenaga dan pikiran, tetapi juga mengikis kepercayaan mereka terhadap sistem yang seharusnya memberikan penghargaan berdasarkan prestasi. Ketidakjelasan dalam mekanisme pengangkatan ini menjadi cermin dari masalah yang lebih besar dalam birokrasi, di mana transparansi dan akuntabilitas sering kali menjadi isu yang diabaikan.
Urgensi Pengangkatan Pengawas di SMK/SMA/SKH
Ketidakjelasan dalam proses pengangkatan pengawas sekolah ini terjadi di tengah kebutuhan yang mendesak akan pengawasan yang lebih efektif, terutama di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK adalah institusi pendidikan yang memiliki peran vital dalam menyiapkan siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, sehingga pengawasan yang ketat dan dan pendampingan yang berkualitas sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kurikulum dan metode pengajaran berjalan sesuai standar yang diharapkan.
Namun, di Kota Tangerang, misalnya, terdapat sekitar 120 SMK yang hanya diawasi oleh dua orang pengawas. Perbandingan yang sangat tidak ideal ini menciptakan tantangan besar dalam upaya memastikan bahwa setiap sekolah mendapatkan perhatian yang layak. Dengan jumlah pengawas yang sangat minim, sulit untuk memastikan bahwa semua SMK di wilayah tersebut dapat berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Hal ini dapat berimbas pada kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa dan kemampuan sekolah untuk menghasilkan lulusan yang siap bersaing di dunia kerja.
Situasi ini juga mencerminkan realitas di banyak daerah lain di Banten, di mana kurangnya pengawas berdampak langsung pada efektivitas pengawasan dan pembinaan terhadap sekolah-sekolah yang ada. Tanpa pengawasan yang memadai, sekolah-sekolah mungkin akan kesulitan untuk mengimplementasikan kebijakan pendidikan yang baru atau melakukan perbaikan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Pengawas sekolah memegang peran kunci dalam menjaga standar pendidikan, memantau pelaksanaan kurikulum, dan memberikan dukungan serta bimbingan kepada guru. Dalam situasi di mana satu pengawas harus memantau puluhan sekolah, hampir mustahil untuk memberikan perhatian yang cukup kepada setiap sekolah. Akibatnya, upaya untuk melakukan transformasi signifikan dalam pendidikan menjadi terhambat, dan sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran yang berkualitas justru terjebak dalam stagnasi.
Sistem Merit dalam Undang-Undang ASN
Masalah ketidakjelasan dan ketidakadilan dalam proses pengangkatan pengawas sekolah ini seharusnya dapat diatasi dengan penerapan sistem merit yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Sistem merit ini mengharuskan setiap pengangkatan, promosi, dan mutasi jabatan di lingkungan ASN didasarkan pada prinsip-prinsip meritokrasi yang ketat. Penilaian terhadap calon pejabat, termasuk pengawas sekolah, harus didasarkan pada kompetensi, kualifikasi, prestasi, serta kinerja yang objektif, tanpa dipengaruhi oleh faktor subjektif, koneksi, atau kepentingan politik.
Pasal 51 dalam Undang-Undang ASN menggariskan bahwa penerapan sistem merit harus mencakup proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan berdasarkan standar kompetensi yang jelas. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya nepotisme dan memastikan bahwa mereka yang diangkat adalah individu yang benar-benar memenuhi syarat dan mampu menjalankan tugas dengan baik. Penerapan sistem ini juga memberikan perlindungan kepada ASN dari segala bentuk diskriminasi, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun golongan.
Dalam konteks pengangkatan pengawas sekolah di Provinsi Banten, penerapan prinsip-prinsip sistem merit yang diatur dalam Undang-Undang ASN menjadi sangat krusial. Prinsip ini bukan hanya untuk memastikan bahwa pengawas yang diangkat adalah mereka yang paling layak, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan para calon pengawas dan masyarakat terhadap proses pengangkatan pejabat di lingkungan pendidikan. Ketika masyarakat melihat bahwa proses pengangkatan dilakukan secara adil dan transparan, mereka akan lebih percaya bahwa para pengawas yang diangkat adalah mereka yang benar-benar mampu membawa perubahan positif dalam pendidikan
Selain itu, penerapan sistem merit yang konsisten dapat mendorong perbaikan berkelanjutan dalam kualitas pengawasan pendidikan di Banten. Dengan memastikan bahwa hanya individu-individu yang memiliki kompetensi dan kualifikasi yang tepat yang diangkat sebagai pengawas, pemerintah daerah dapat meningkatkan efektivitas pengawasan dan, pada akhirnya, kualitas pendidikan di wilayah tersebut.
Penutup
Lima tahun menunggu tanpa kepastian adalah beban yang sangat berat bagi para calon pengawas sekolah di Provinsi Banten. Ketidakjelasan mekanisme pengangkatan, ketidakadilan dalam proses seleksi, dan kurangnya pengawas yang memadai, terutama di SMK, adalah masalah-masalah yang mendesak untuk diselesaikan. Penerapan prinsip-prinsip meritokrasi yang diatur dalam Undang-Undang ASN menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.
Dengan menerapkan sistem merit yang transparan, adil, dan objektif, diharapkan proses pengangkatan pengawas sekolah di Banten dapat berjalan dengan lebih baik dan menghasilkan pengawas yang benar-benar kompeten dan layak. Ini bukan hanya akan membantu menyelesaikan masalah pengawasan yang saat ini dihadapi, tetapi juga akan membawa perubahan positif dalam sistem pendidikan di Provinsi Banten secara keseluruhan.
Ke depan, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih serius dalam menerapkan prinsip-prinsip meritokrasi dalam setiap keputusan pengangkatan pejabat, termasuk pengawas sekolah. Dengan demikian, mereka yang telah berjuang keras dan menunjukkan kompetensi yang tinggi dalam proses seleksi akan mendapatkan penghargaan yang setimpal, dan sistem pendidikan di Banten dapat berkembang menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H