[caption caption="Deaf Cafe Finger Talk, foto : dokumen pribadi"][/caption]Cinta berasal dari hati dan rasa ini berlaku secara umum ,sesuatu yang umum akan bertahan kecendrungannya abadi.Rasa sayang akan merubah segalanya apalagi kepada sesama yang pastinya akan mengubah tatanan dunia.Hal ini bisa dilakukan oleh siapa saja dengan gender laki laki atajpun perempuan. Tak terkecuali dengan seorang gadis bernama Dissa Syakina Ahdanisa . Perkenalannya dengan dunia "finger talk" membawanya jauh tinggi hingga sekretaris Obama menyambanginya di Cafe Deaf Finger Talk di bilangan Pamulang Timur Kota Tangerang Selatan. Bagaimana tidak, usaha uniknya sudah diakui oleh Pemkot Tangsel dengan kehadiran Airin Rachmi Diany sang Walikota beserta jajarannya pada saat peresmiannya tahun lalu.
Jari berbicara, itulah yang sering terlihat dari dikusi kami para ketapels (Kompasianer Tangerang Selatan Plus) dengan Dissa sang founder Deaf Cafe Finger Talk,Kemudian Ms. Pat Sulistyowati (Mantan Ketua Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia "GERKATIN").Namanya sudah terkenal di wilayah sekitar sebagai tokoh masyarakat Pat yang juga guru keterampilan yang khusus menangani tunarungu di wilayahnya . Hal ini kemudian menjadi kolaborasi hebat berdirinya cafe tunarungu pertama di Indonesia. Hasil perhitungan tepat dari perkenalannya dengan tempat kudapan sejanis di Nicaragua Amerika Tengah tempat dirinya menjadi sukarelawan dan dari sanalah pertemuannya dengan sebuah cafe di mana para pekerjanya adalah para tuna rungu Terinspirasi dengan Cafe De La Sorisas yang dimiliki oleh warga Spanyol Dissa membawa harapan dan tujuannya ke Indonesia .Membangun sosial bisnis yang sama .Kemudian Gadis yang menguasai empat bahasa ini melengkapi keinginannya membangun sebuah sarana yang nyaman ketika dia bekerja di Singapura.Hasil kerja kerasnya selama di Singapuralah bangunan berbentuk joglo terbangun sampai membesar seperti saat ini. Dari diskusi dengan Ketapels dikethui pula akan diresmikannya tempat yang kedua dan seterusnya.
Sesiapapun yang datang memesan makanan dan minuman tentunya akan mengalami kesulitan berkomunikasi bila para pegawai cafe tersebut mengalami kendala bahasa.Di cafe ini semuanya terlihat alami semuanya seperti berlangsung normal. Namun ketika diperhatikan secara saksama ada yang berbeda.Pegawai di tempat keren ini semuanya tuna rungu (tuli) alias tidak mendengar.Hebatnya taknperlu berteriak bila ingin memesan menu yang beragam .Tinggal ikuti saja petunjuk yang terpampang dan secara mudah kita dapat berkomunikasi dengan mereka. Secara kuantitas dan kualitas makanannya tak perlu ragu lagi.Kokinya sudah terlatih sempurna menyajikan masakan western atau cita rasa lokal.
Dalam diskusi yang dimulai pukul 10 pagi ( 10/April/2016) hadir pula Ibu Pingkan Carolina Rosalie Warouw" beliau adalah Ketua Indonesian Sign Language Interpreter "INASLI" beliau bercerita bagaimana cara memahami bahasa isyarat, jelas tidak mudah karena dibutuhkan kecepatan dalam menerjemahkan bahasa menjadi syarat dan harus didukung pula oleh ekspresi wajah.Bayangkan sesuatu yang sulit tersebut kini menjadi sesuatu yang mudah. Hadirnya cafe ini yang sudah Break Even Point (BEP) membuktikan kerja keras mereka sungguhlah luar biasa.
[caption caption="Ketapels dan Deaf Cafe Finger Talk , foto: dokumen ketapels"]
[/caption]Dissa adalah contoh Kartini yang mampu memadukan sosial dan bisnis, membangkitkan kembali teman teman yang mempunyai kelebihan dari segi bahasa isyarat . Membangun gairah para orang tua yang memiliki putra dan putri seperti para pegawai Finger Talk yang berasal dari Bali,Jawa Barat dan lain sebagainya .Mereka diajari membatik, menjahit menjadi keseharian yang menghasilkan materi dan semoga saja semangat kartini muda ini menyebar secara cepat ke seluruh penjuru negeri .Mulai hari ini Tanggal 17 April 2016 Ketapels dengan penuh semangat akan membaginya untuk para pembaca kompasiana.
Ketapels dengan ketua Rifki Feriandi banyak belajar dari gadis berusia 25 tahun ini bagaimana melihat peluang dari segi bisnis dan bagaimana melihat tuna rungu sebagai bagian dari sosialnya.Jiwa humanisnya tentu saja tak terlepas dari peran sang ibu yang mampu menyekolahkannya ke universitas new south wales australia jurusan perbankan. Seorang ibu yang memiliki empat belas rumah taffidz Al Qur an dengan jiwa sosialnya yang tinggi di masyarakat sekitar. Dari doa dan kerja keras akhirnya Dissa mendirikan Cafe Finger Talk dengan memberdayakan teman teman tuna rungu dari penjuru daerah. Dissa sang Entrepreneur hendaknya menjadi sosok yang membanggakan bagi kita terutama seluruh perempuan di Indonesia untuk lebih berkarya lagi.
[caption caption="Kolaborasi Sempurna yang mencerahkan, foto : Dokumen pribadi"]
[/caption]
#semogabermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H