Lihat ke Halaman Asli

Yusep Hendarsyah

Kompasianer, Blogger, Bapak Dua Anak

Ajak Orang Tua untuk Memilih Alur Pendidikan yang Tepat

Diperbarui: 4 Maret 2016   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memiliki anak yang masih balita (bayi di bawah lima tahun) adalah sungguh membahagiakan, meski bicara belum lancar kadang  cadel, anak anak tetap mengerti apa yang orang tua katakan setiap saatnya. Namun tahukah Anda?  Ternyata menurut Psikolog anak Ratih Ibrahim, berbicara atau berdiskusi dengan  anak harus sedini mungkin semisal diskusi  tentang minat dan bakat atau cita cita. Pengalamannya berdiskusi dengan anaknya  yang berusia satu tahun dan belum fasih berbicara. Memperlihatkan kehidupan di luar sana lebih menarik bagi anak anak. Kemudian  tentang dunia kehidupan disekitar  semisal gedung gedung bertingkat, tempat tempat wisata yang ingin dikunjungi dan tak kalah menarik  mengajak diskusi kepada mereka tentang bagaimana keinginan mereka ketika besar nantinya. Mungkin saat ini anak tersebut belum mengerti, namun cepat atau lambat suatu saat memori mereka tersimpan dengan baik dan akan terbuka suatu saat nanti.

Ratih Ibrahim mengatakan bahwa yang menentukan cocok atau tidaknya anak bersekolah di mana adalah orang tuanya. Karena mereka lah yang paling mengerti dan memahami karakter anak-anaknya. Dengan memahaminya dengan baik maka pendidikan yang terbaik akan dipilih bagi putra putri mereka.

Begitulah paparan pertama diskusi tentang pendidikan yang berjudul Think Beyond The School: Pandu orang Tua dalam Memilih alur pendidikan yang Tepat yang diadakan oleh Sampoerna Schools System – L’Avenue,sebuah Sekolah berbasis Amerika yang telah banyak memberikan jasa bantuan bagi kurang lebih seribu anak prasejahtera dalam bentuk  beasiswa pendidikan yang mendukung anak mencapai potensi terbaiknya.  (1/3/2016)

Saya membayangkan betapa bangganya Indonesia memiliki berjuta-juta anak yang mempunyai standar kompetensi pendidikan terbaik dan bisa menguasai dunia. Ini sangat mungkin terjadi,  karena menurut data yang dirilis oleh   McKinsey Global Institue memprediksi bahwa di tahun 2030,Indonesia akan menjadi Negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di dunia, melewati Jerman dan Inggris.Prediksi ini hanya dapat terwujud apabila Indonesia memiliki 113 juta generasi muda dengan keterampilan dan kemampuan yang memadai. Dengan kata lain,penting bagi Indonesia untuk mempersiapkan generasi  berikutnya dengan keterampilan dan kemampuan melalui pendidikan yang berkualitas, sehingga siap dalam menghadapi persaingan global.

Dalam diskusi ini juga dipaparkan bhawa saat ini di bidang pendidikan, Indonesia hanya memuncaki peringkat 69 jauh sekali dibandingkan dengan  Vietnam , sebuah negara kecil  yang memiliki peringkat 12 dunia. Sungguh miris mendengarnya dan sedikit geram dengan cara dan pola pendidikan kita saat ini meski  saat ini  ada banyak system pendidikan  yang tersedia di Negara kita, di antaranya: Sistem Nasional Indonesia sendiri, Sistem Amerika, Sistem UK-Cambridge, dan Sistem Eropa-Internatioanl Baccalaurate(IB).

PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

Anak-anak Bangsa Indonesa, menurut Ratih Ibrahim  harus memiliki beberapa skill atau kemampuan agar Pede (Percaya diri) dalam “menggenggam” dunia. Salah satunya adalah :

  1. Social Skill : keluwesan bergaul dengan orang-orang lain
  2. Language skill : penguasaan bahasa asing. Karena kita menggunakan bahasa untuk bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain
  3. Cognitive skill : daya pikir yang kritis analitis, dan masuk akal sesuai dengan konteks sosialnya.
  4. Problem solving : kemampuan untuk bisa memecahkan persoalan yang dihadapi
  5. Attitude : tata krama, sopan santun, empati dan mandiri

Namun, itu saja tak cukup.Selain orang tua perlu ada sekolah yang sesuai dengan karakter anak untuk menunjang ke lima hal tersebut di atas. Salah satunya menurut DR.Marshall E Schott dengan bersekolah yang memiliki karakter jelas dalam kurikulumnya.

“Kurikulum serta metode pembelajaran yang diimplementasikan di Sampoerna Schools System, melalui system Amerika memastikan pemenuhan kebutuhan pendidikan siswa usia 3 hingga 18 tahun, di mana pengembangan pengetahuan kognitif,dan social ditonjolkan secara seimbang”.

Masih menurutnya, bekerjasama dengan berbagai institusi Amerika, kami menekankan pada pembelajaran kontekstual melalui pemecahan masalah untuk mengasah pemikiran siswa secara kritis, di mana hal ini dibutuhkan oleh berbagai perusahaan saat ini. Selain itu pendekatan, pembelajaran yang diterapkan berfokus pada science, technology, engineering ,arth, dan math (STEAM) menjadikan  lulusannya memiliki  kompetensi analisa dan cara berfikir kreatif.

Saya pun menjadi  sedikt berfikir dan tiba tiba teringat  sebuah perkataan dari salah seorang Doktor  di Banten yang ahli di bidang Produktivitas. Beliau mengatakan dalam kisahnya tentang seorang pedagang sate di wilyahnya yang hanya buka selama dua jam. Jam empat buka jam enam sore tutu.Ramainya luar biasa. Dari segi produktivitas tukang sate ini dia sebutkan sebagai tukang sate yang berkompetensi. Karena sate yang diperdagangkan memenuhi unsur “sangat enak”. Bila tukang sate saja bisa memenuhi standar enaknya sebuah makanan. Maka sebuah institusi seharusnya memiliki standar yang jelas sehingga para anak didiknyapun memiliki standar kompetensi yang jelas pula. Begitu seterusnya hingga terkumpul berjuta juta anak kita yang memiliki standar kompetensi. Masyarakat Ekonomi  ASEAN  (MEA), AFTA, NAFTA sudah tidak perlu ditakutkan lagi oleh bangsa ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline