Pagi-pagi mata sepet baru bangun setelah on line semalaman sebuah keseharian yang akhirnya menjadi kebiasaan dari kebiasaan akhirnya menjadi sebuah ketetapan dan menjadi budaya kaum pencinta dunia maya pisang goreng harum mewangi yang di suguhkan penuh cinta kini kita temui dalam dingin segelas teh hangat tawar dan manis kian menghilang digantikan kabael-kebel penyambung rasa pisang , dari daerah ambon,jawabarat,jawa tiumur,jawa tengah,makasar, dan kota lain bentuknya ternyata sama. dari pasar tradisional, penjaja keliling, tukang gorengan sampai hotel melati hingga hotel bintang lima rasanya sama, namun jangan disangka harganya sama. Apakah pisang mengalami perubahan nilai...? Pisang goreng sekarang jarang menjadi teman santai mall-mall besar ,cafe, hingga warung remang penuh warna menjajakan wi-fi internet. samua berkumpul menikmatinya. kopi termahal menemani malam-malam penuh kegaduhan menyendiri di layar laptop. jarang kan psiang goreng tersedia menemani? berjalan jauh menyusuri warung-warung untuk menyakan .. ada pisang goreng tidak? semua menjawab waahhh sudah habis dari pagi tadi, kok baru nyari sekarang? maaf ,kesiangan nih.. ohhhh...... pisang goreng jarang ditemui, meski dia ada di sekitar kita. hanya orang-orang dilahirkan sebelum zaman milenium dengan segelas kopi panasnya dan teh manisnya yang bisa menikmati. hilangkah pisang gorengnya..? ternyata tidak, dia hanya bersembunyi di antar gerungan minyak wijen panas menunggu kita hadir lebih pagi saja. bisakah kita mengembalikan tradisi makan pisang goreng di waktu senggang? jawaban nya bukan pada search di google tapi pada kesiapan kita untuk kehilangan sebuah peluang yang mulai tergerus zaman. jangan sampai itu terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H