Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Saat Lebaran

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa Saat Lebaran

Lebaran yang menurut kelaziman di Indonesia merupakan Idul Fitri, yakni hari kebesaran Islam yang diperingati setiap tanggal 1 Syawal. Lebaran dan Idul Fitri juga sering disebut sebagai hari kemenangan bagi muslim yang telah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Banyak sekali hal unik saat puasa dan lebaran, mulai dari perilaku manusia yang berubah, makanan dan minuman unik, pakaian yang menarik sampai tetek bengek lainnya yang hanya muncul ketika puasa dan lebaran tiba. Kemudian kita kaprah dengan istilah-istilah buka puasa bersama atau kita sering singkat dengan kata bukber (buka bersama), bubar (buka bareng), ada juga tarling (tarawih keliling) biasanya itu hanya dilakukan oleh para pemerintah mulai dari pejabat daerah sampai presiden, muncul juga istilah opersi ketupat ini biasanya terjadi di kalangan kepolisian saat bertugas atau bekerja di saat-saat libur lebaran. Banyak frasa atau istilah yang berhubungan dengan lebaran: libur lebaran, parsel lebaran, baju lebaran, kue lebaran, tunjangan lebaran, bahkan seorang kondektur menagih uang karena sang penumpang kurang membayar ongkos pada saat lebaran “ bu ini kan ongkos lebaran” begitu menjamurnya istilah atau frasa baru saat puasa dan lebaran bahkan lirik sebuah lagu pun menjadi terkenal karena berasosiasi dengan lebaran: …tiga kali puasa tiga kali lebaran tak pulang- pulang….

Keberadaban manusia tidak pernah lepas dari keberbahasaannya karena memang sesungguhnya keberadaban itu tak lain adalah “keberbahasaan” manusia itu sendiri. Seperti yang dikemukakan Martin Heidegger “languagge is the house of being” ‘bahasa adalah rumah kehidupan’ (Latif, 2009:3). Maka manusia dalam kesehariannya selalu lekat dan melekat pada bahasa. Tak ada satu pun manusia yang dalam satu hari tanpa bahasa, verbal maupun non verbal. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari berkelindan dalam berbagai perasaan, suka dan duka, cinta dan benci, kesal dan rindu, marah dan ramah dan seterusnya, karena memang hal- hal tersebut bagian dari dinamika hidup manusia. Segenap perasaan tersebut pada umumnya teraktualisasikan lewat bahasa.

Manusia beradab, tentu apabila melakukan kesalahan akan langsung mengucapakan maaf. Biasanya kalau kita terlambat datang pada sebuah acara, kita langsung mengucapkan minta maaf, misal: “ Maaf ya saya datang terlambat karena ada kecelakaan kecil di jalan!” atau yang paling sederhana “ Sori ya aku ga bisa datang!” ucapan-ucapan maaf seperi itu pasti kita pernah dapatkan atau kita sampaikan, namun ucapan permohonan maaf dalam situasi lebaran atau Idul Fitri menjadi berbeda, ada hal yang takbiasa. Kata-kata “ mohon maaf lahir batin” menjadi bahasa yang paling niscaya saat lebaran. Apabila biasanya kita hanya lazim mengucapkan minta maaf namun apabila saat lebaran menjadi mohon maaf. Kata minta berganti dengan kata mohon, secara maknawi ada perbedaan rasa dalam kata itu; ada kesungguhan yang direpresentasikan; ada kekhidmatan yang dimunculkan; ada penyesalan yang coba dipantulkan; dan yang pasti kadar maafnya menjadi lebih. Seakan tak cukup mengganti kata minta menjadi kata mohon, seorang muslimpun saat lebaran sebelum memohon maaf sering sekali diawali atau diimbuhi oleh puisi.Pada saat Lebaran orang-orang mendadak puitis; kebersastraannya muncul; emosionalitas berbahasanya mengejawantah. Sepertinya orang tidak merasa lengkap apabila permohonan maafnya di hari lebaran tidak diiring puisi. Young Berg mengatakan bahwa puisi adalah sesuatu yang mengalir dari lubuk hati yang paling dalam (Nadeak, 1985:18). Oleh karena itu, ucapan permohonan maaf yang merupakan sesuatu yang subtil akan menjadi sesuatu yang sublim apabila disampaikan lewat bahasa-bahasa puitis, dengan kata lain, puisilah sarana yang tepat yang dipilih untuk mengaktualisasikan perasaan seseorang pada momen lebaran.

Kini puasa telah lewat, lebaran pun telah lalu dan segala sesuatunya pun kembali kikuk, pragmatis tak lagi puitis. Lalu mengapa pada saat puasa dan lebaran segala sesuatunya terasa lembut, puitis, subtil, dan teduh. Mungkin pengaruh para malaikat rahmat yang berbondong-bondong menghampiri manusia, atau pengaruh setan yang sedang dipenjara, entahlah! Yang pasti pelan-pelan Tuhan memandang kita, mendengar setiap bahasa kita.

Daftar pustaka

yyusepp@yahoo.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline