Lihat ke Halaman Asli

Pinjamkan Tiongha Itu 'Ahok' Tiga Bulan Saja (Part I)

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1408983777861635324


Basuki
SEPAK Terjang Busuki Cahaya Purnama atau Ahok memimpin ibu kota Jakarta cukup memikat. Selain dari sikap tegas dan gaya ceplos-ceplosnya, dia adalah pemimpin anti kumunafikan.

Cukup iri rasanya kepada Jakarta yang memiliki pemimpin seperti Ahok. Kami di Sulsel juga ingin pemimpin seperti si 'Tiongha' itu.

Saya tidak bisa mengklaim seluruh masyarakat Sulsel menginginkan Ahok, tapi saya yakin orang yang mengenal dekat watak Ahok akan berpendapat seperti saya. Konsep keadilan sosial (bukan bantuan sosial) dari dia sudah cukup membuktikan keperpihakannya sama yang lemah.

Belum lagi dengan segala sikap 'buldusernya' terhadap jajaran pegawai Pemprov DKI. Pinjamkan Ahok. Pinjamkanlah untuk memberangus oknum pegawai pemerintahan di Sulsel, cukup 3 bulan saja.

Ahok bukan berarti tanpa cacian bagi sebagian masyarakat di Sulsel. Sering saya mendengar etnis dan agamanya menjadi dasar kebencian terhadapnya. Tapi itu mereka yang tidak mengerti. Tidak paham dan tidak mampu melihat niat tulus dari Ahok.

Keinginan meminjam Ahok juga karena sikap muak saya melihat pejabat di Sulsel. Pejabat yang begitu bangga dengan predikat WTP dari BPK tanpa memperhatikan kawan dekatnya atau jajarannya sudah menjadi terangka di Kejaksaan. Pejabat Congkak dengan hadia Adipura tanpa mau melihat kanal disamping rumahnya penuh dengan sampah. Aku muak.

Aku muak, mereka hanya mau bercerita tentang keberhasilannya. Menstimulasi masyarakatnya dengan kalimat peningkataan 'pendapatan per kapita masyarakat' tanpa peduli masyarakat desanya masih ada yang makan singkong. Mereka hanya sibuk mengurusi citranya di media massa.

Begitu tidak paham dengan jajaran SKPD di Jakarta, tapi di Sulsel para pejabaat SKPDnya adalah mereka orang dekat pak Gubernurnya. Entah itu Adiknya, Besannya atau tim suksesnya saat pencalonannya dulu. Sang boss nampak sudah lupa kesalahan para Kepala dinasnya ketika mereka sudah tunduk dan mencium tangan sang boss.

Para pejabat ini juga adalah pembenci. Pembenci terhadap tokoh politik yang dilihatnya lebih sukses dan karirnya lebih cemerlang darinya. Mereka tahunya mencaci dari belakang.

Mereka terlalu politis dari setiap tindakan dan ucapannya. Kami butuh pemimpin seperti Ahok. Pemimpin berkata apa adanya. Baik dibilang baik dan yang salah tetaplah salah, tanpa ada rasa takut terhadap partainya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline