Lihat ke Halaman Asli

Sungguh: Kami Ingin Menangis, Ridho

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1292776860182792608

KALAU saja saya bertemu dengannya tanpa terlebih dahulu melihat fotonya, saya nyakin bakalan tak mengenali lagi wajah dan sosok tubuhnya. Semuanya memang berubah. Wajar karena sudah 22 tahun lebih kami tidak saling berjumpa. Beruntung, sebelum pertemuan yang terjadi di gedung Hemodialisa (HD) RSUD Dr Soetomo Surabaya itu, fotonya sempat diupload di FB oleh Kristiana Dewi. Toh, tetap saja Djoko Moel dan Dukut WS, yang datang terlebih dahulu, saat mencarinya di dalam gedung tidak bisa menemukan yang dicarinya. "Yang mana Areke? Gak ketemu," kata Djoko Moel, saat keluar ruangan seraya menggaruk-garuk kepalanya. Saya yang datang terlambat pun awalnya mengalami kesulitan. Saya lihat satu persatu, orang-orang yang terbaring di tempat tidur, semuanya memiliki tanda yang nyaris mirip. Kulit lebih gelap dan badan cenderung kurus. Satu lagi: wajah lesu, tanpa semangat. Aroma khas rumah sakit pun melingkupi ruangan tersebut. Ada sekitar 24 tempat tidur dalam ruangan - dua buah merupakan ranjang VIP karena berada dalam kamar-kamar terpisah. Semuanya terisi. Saya kembali berkeliling mencari wajah yang seharusnya sudah akrab dalam rekaman otak saya. Alhamdulillah, di sudut pojok ruangan, diatas tempat tidur bernomor 22, ada Ridho Setyawan terbaring. Sang teman alumni SMA 1 Magetan itu tengah 'menikmati' isirahat siang, dengan lengan kirinya ditusuk dua buah jarum berselang plastik terhubung dengan mesin Hemodialisis. Sang mesin tengah mengeluarkan, membersihkan, mencuci dan memasukkan kembali darah Ridho. Warnanya merah pekat. Djoko Moel dan Dukut mengikut dibelakang saya. Kami bertiga mencoba menebar senyum. Senyum paling menawan. Tapi sungguh, terasa getir di hati. Namun saya melihat wajah lesu Ridho mendadak menjadi terlihat agak segar. Apakah ini sugesti? Ia tersenyum lebar saat melihat kami merapat di ranjang tempatnya berbaring. Kami memberi salam tipis-tipis. Bukan pelukan hangat seorang sahabat yang tidak pernah bertemu. Mungkin kami bertiga sama-sama takut akan membuatnya semakin kesakitan. Ridho terus menerus menebar senyum. Saat kami datang dia terbaring, dan kemudian tiba-tiba bersemangat duduk menyambut kami. Ia langsung ingat nama-nama siapa yang datang. Saya, Djoko Moel dan Pithik katanya. Ohhh. Saya sendiri yang pernah satu bangku SMA dengan Pithik sudah lupa panggilan Dukut tersebut. Awal pembicaraan terasa kaku, tapi suasananya makin mencair, karena sejarah 22 tahun lalu yang membuat kami terikat satu-sama lain. Kami bertiga bercerita soal reuni yang berlangsung tanpa kehadirannya. Ridho sendiri bercerita banyak tentang sakitnya. Tapi saya hanya samar-samar mendengar kisahnya. Saya tak sanggup merekamnya dalam pikiran. Aroma darah membuat syaraf saya agak terganggu. Selama perjumpaan itu, saya harus dua kali keluar ruangan untuk meringankan kepala dan (tentu saja) merokok. Meski dua ginjalnya sudah tidak berfungsi sama sekali (nol persen), Ridho tetap seorang laki-laki sejati. Saya yang melihat badannya kurus dan tipis, dan ginjanya yang sudah mengerik dan mengecil, iseng-iseng saja bertanya apa masih menjadi laki-laki? Dukut disamping saya mengamini pertanyaan saya sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya. Djoko Moel tertawa. "Yo sik isok. Anakku yang nomor dua sekarang umur 2,5 tahun," kata Ridho sambil tertawa lepas. Sedang anaknya yang sulung sudah SMP. Soal itu, saya dan Dukut harus mengakui 'kehebatan' Ridho. Hehehehe... Tak lama berselang muncul Bambang Sucahyo dan Suroto. Suroto adalah teman sebangku Ridho saat keduanya SMP. Suroto yang harusnya berwajah garang karena mengenakan seragam dinas Marinirnya terlihat sumringah melihat karib lamanya. "Aku heran awakmu dhisik koq isok dadi tentara, duwurmu mosok cukup?" kata Ridho. Sang Marinir hanya tersenyum simpul. Keceriaan makin bertambah saat Leo Herlambang bergabung. Ridho sebenarnya ingin melakukan cuci darah di Madiun. RSUD Dr Soedhono di Madiun juga memiliki peralatan serupa. Namun Ridho juga terkena Hepatitis-B. Alat yang dipergunakan cuci darah haruslah khusus. Dan itu hanya ada di RSUD Dr Soetomo. Setiap kali cuci darah, biaya normalnya berkisar antara Rp 650-750 ribu. Statusnya PNS sebagai guru SMP Negeri di Jabung Panekan memberinya fasilitas Askes untuk berobat. Tapi tetap saja harus keluar biaya rutin untuk melakukan perjalanan ke Surabaya. Pukul 15.00 wib, petugas datang memeriksa Ridho. Upacara cuci darah hari ini sudah usai...jarum suntik dilepas dari lengan kirinya. Terlihat dua lokasi di lengannya yang sudah 'kapalan', saking seringnya ditusuk jarum. Bersama-sama kami keluar. Di bangku gedung HD, Ridho duduk sebentar. Istirahat. Kembali kami mengerumuni dan mengajaknya bercerita. Djoko Moel memberi tawaran agar tiap kali Ridho ke Surabaya mampir ke rumahnya di Kalijudan. Saya juga memberi tawaran kalau mau saya ajak nonton Persebaya di Stadion Tambaksari. Hehehehe Ridho sudah terbiasa sejak 2005 ke Surabaya datang sendirian. Maklum istrinya juga guru SMP. Tidak bisa meninggalkan kewajibannya mengajar. Setahun terakhir ini kunjungannya ke Surabaya menjadi setiap hari Rabu dan Sabtu. Tetap saja sendirian. Pernah satu ketika, saat sudah tiba di Dr Soetomo, fisiknya melemah. Ia tak kuat berdiri dan kepalanya pusing, hingga terjatuh. Bangun sendiri. Mencari bangku panjang dan berbaring sejenak. Baru setelah merasa kuat, berjalan kembali menuju Gedung HD. Ridho bercerita tanpa ekspresi berlebihan. Apa yang dialaminya itu adalah bagian dari kehidupannya. Sungguh rasanya kami berdosa setelah mendengar cerita Ridho. Ternyata sejak 2005, dia secara rutin datang ke Surabaya. Setiap satu minggu sekali. Naik bus umum. Menuju RSUD Dr Soetomo, masuk ke Ruang HD, berbaring selama lima jam lebih, melakukan cuci darah. Sendirian selama bertahun-tahun. Sungguh rasanya kami berdosa, ada teman lama yang menjalani masalahnya sendirian sebagai 'tamu' di Surabaya. Sementara kami yang ada di sekitarnya (apapun alasannya) telah 'mengabaikan'. Sungguh rasanya kami ingin menangis. Ya Allah....terima kasih Engkau senantiasa memberi kami kesehatan... Ya Allah...semoga Engkau memberikan teman kami, Ridho Setyawan, kesabaran, ketabahan dan tawakal...Amien..(sak)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline