Lihat ke Halaman Asli

Yusak Persada

Seorang karyawan

Mengenal Cina Benteng

Diperbarui: 3 Juni 2024   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar

Menjelajahi Komunitas Cina Benteng

Saat saya pertama kali mengunjungi kota Tangerang, yang menarik perhatian saya adalah atmosfer religius yang sangat kuat, tercermin dari keberadaan spanduk-spanduk yang memuat Asmaul Husna, nama-nama mulia yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, beserta terjemahan dalam bahasa Indonesia. Bagi saya yang bukan Muslim, ini sungguh memperluas wawasan saya karena akhirnya saya memahami bahwa Al Rahman berarti Sang Maha Pengasih, Al Lathiif berarti Sang Maha Lembut, dan sifat-sifat Ilahi lainnya yang dapat saya amati selama perjalanan saya di kota Tangerang.

Di sisi lain, saya juga memiliki beberapa teman yang berpindah ke Tangerang, tentu saja karena kota ini berperan sebagai penyangga Jakarta sehingga banyak yang memutuskan untuk pindah ke sana, dan anak-anak mereka bersekolah di sekolah-sekolah terbaik di Tangerang. Namun, masalahnya agak berbeda karena anak-anak ini justru mengalami kesulitan dalam berbahasa Indonesia dengan baik, mengingat bahasa Inggris merupakan bahasa utama yang digunakan di sekolah. Belum lagi, beberapa mal di beberapa wilayah Tangerang sudah begitu Internasionalnya dan ada food court yang tidak menyediakan menu lokal sama sekali, semuanya berasal dari Korea dan Jepang!

Namun, ada sisi lain dari Tangerang yang sebelumnya belum pernah saya ketahui, yaitu Cina Benteng. Saya merasa bersyukur karena saya tergabung dalam Sahabat Heritage Indonesia yang berpusat di Bandung, sehingga kami sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang memiliki warisan sejarah budaya dan arsitektur. Pada awal Mei 2024, kami mengunjungi Tangerang dan beberapa tempat yang mewakili kehidupan masyarakat Cina Benteng, dengan bantuan dari Elsa dari Benteng Walking Tour.

Cina Benteng merujuk pada komunitas Tionghoa yang merupakan perpaduan antara Tionghoa dan Sunda, yang telah hadir di Tangerang sejak tahun 1407. Gelombang pertama datang yang dipimpin oleh Tjen Tjie Lung, sementara gelombang kedua tiba pada masa Laksamana Cheng Ho, dan gelombang terakhir pada zaman Dinasti Ching karena adanya perekrutan petani kapas dan padi untuk VOC.

Nama "benteng" mengacu pada benteng Belanda yang mengelilingi wilayah tersebut pada tahun 1684, yang juga dikenal sebagai Benteng Makassar karena serdadu penjaganya berasal dari orang Bonne. Benteng ini dibangun sebagai pertahanan terhadap pasukan dari kesultanan Banten.

Mayoritas masyarakat Cina Benteng hidup dengan sangat sederhana dan bergantung pada kehidupan sebagai petani. Namun, apakah benteng-benteng itu masih berdiri hingga saat ini? Sayangnya, tidak, karena semua benteng telah dirobohkan untuk pembangunan kota. Bagaimana dengan sejarah wilayah benteng itu? Dalam perjanjian damai pada tahun 1682, disepakati bahwa wilayah antara kota Batavia hingga sebelah timur Cisadane merupakan milik VOC. Untuk mengelola kawasan tersebut, yang pada awalnya merupakan hutan belukar, VOC memberikan hak kepemilikan kepada mereka yang pertama kali membuka lahan. Sebagian besar yang membuka lahan adalah orang-orang Tionghoa yang memiliki keahlian dalam bertani. Sebagian lahan digunakan sebagai kebun sayur, namun sebagian besar dijadikan perkebunan tebu yang hasilnya dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan gula di pasar Eropa.

Menurut saya, masyarakat Cina Benteng sangat unik, meskipun secara fisik tidak terlihat kental ciri-ciri Tionghoa, namun mereka tetap mempertahankan tradisi Tionghoa yang kuno namun juga menggabungkannya dengan tradisi lokal. Bahasa yang digunakan juga merupakan campuran antara bahasa Sunda khas daerah Banten, dengan sedikit sentuhan Hokkian dan Betawi.

Salah satu contoh budaya unik mereka adalah tradisi pernikahan Cina Benteng yang disebut Cio Tao, merupakan warisan dari dinasti Cing pada abad ke-17, dimana pengantin pria mengenakan baju hitam yang menjadi kebiasaan, bukan merah. Hal ini juga dipengaruhi oleh budaya lokal, karena pada masa itu, pengantin dianggap sebagai raja dan ratu semalam, dan pada saat itu baju pejabat Cina umumnya berwarna hitam. Masih banyak perpaduan budaya lainnya yang menciptakan budaya baru dan unik, yang menjadi ciri khas dari masyarakat Cina Benteng seperti musik gambang kromong, perlombaaan perahu naga. Ada juga Festival Peh Cun. Yang dilatar belakangi seorang jenderal  jujur yang bunuh diri di sungai. Agar jenazahnya tidak dimakan ikan maka dilemparkan  nasi berbungkus daun bambu yang disebut bacang. Ada  gambang kromong music pengiring dari  tari cokek yang bernuansa peranakan Tionghoa sekali.

Selama perjalanan di Tangerang kesan saya ada satu sisi dari kota ini yang sangat-sangat pecinan banget dan kultur Cina Benteng ini sangat kaya dan beragam jadi sayang aja kalau sampai hilang ditelan jaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline