Secarik Pesan Palsu
tergopoh-gopoh membuka pintu seakan sekian tahun tak bertemu ibu sangat sumringah menyambutku masuklah ibu kangen sekali kepadamu aku masih terpaku memandang wajah ibu kok ya seperti tak pernah terjadi sesuatu baiklah aku paksa sedikit senyum bibirku
belum sempat kujabat kucium tangan ibu lebih cepat dia merengkuh memelukku tak bisa terucap rasa mengharu biru maafkan ibu ya nduk maafkan ibumu karna kesalahan ibu kau menjauhiku
terkenang kembali peristiwa bulan lalu saat aku pulang bekerja ibu menemuiku membawa secarik kertas berwarna kelabu ibu memberi tahu ada pesan dari bibiku pesan penting bahwa teman dekatku akan segera melamar sepupuku jadi mohon agar tak akrab lagi denganku tak tahu apakah bibi serius memintaku demi persaudaraan sepupu aku setuju
padahal baru seminggu yang lalu aku jadian dengan teman dekatku dia ingin lebih dari teman menyukaiku bahagia rasa indah di hari-hariku bagai pujangga kususun puisi merindu bergelora semangat hidupku
namun lepas seminggu semua menjadi pilu kubaca pesan bibiku dengan linang air mataku teman dekatku kan menempuh hidup baru
secarik pesan itu kembali mengusikku ternyata isinya telah diubah oleh ibuku teman dekatku ingin aku membantu meluluhkan hati ibu agar merestuiku menjalin kasih dengannya seperti dulu demi sepupuku ibu mohon mengalahlah aku
tanpa banyak tanya aku menemuimu tak tahan aku menahan sesak dadaku mengapa kau tega menipu memberi harapan palsu serasa runtuh langit nan biru kau harus terjebak permainan bibiku menutup aib sepupu karena tertipu
mengapa secepat itu keputusanmu itu sesalku yang takkan berujung waktu secarik pesan palsu telah memisahkanku denganmu yang baru singgah di hatiku
kau harus bertanggung jawab terhadap janjimu meninggalkan luka batin lebih kau pilih daripada meralat pesan palsu kini kau berbulan madu menempuh bahtera terindah dengan pilihanmu