Lihat ke Halaman Asli

Instant wisdom : sekali telan langsung Arif budiman

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1297503589564193296

Waktu makan siang tiba, biasanya warung nasi “emak” sudah penuh. Terdengar sekeras badai suara yang berasal dari radio di sudut ruang warung itu, rupanya ceramah dari salah satu ulama kondang, “istri cantik itu berbahaya”, katanya, “apalagi kalo suaminya kere”….seketika gue ketawa terbahak – bahak lalu tersenyum membayangkan seorang suami pengangguran yang merana, yang di pagi hari masih gelung selimut, sementara istri yang sudah wangi dan terlihat cantik bersiap untuk berangkat kerja dengan cerah, meyakinkan, dan ujung – ujungnya menerbitkan cemburu buta. Gue tidak akan mengomentari ceramah tersebut yang hanya sekilas terdengar, melainkan lentik gagasan yang tersirat dari sana. Betapa banyaknya manusia yang hidup di kota besar membutuhkan nasihat. Bila di sejajarkan dengan penyair kondang manca Negara pasti tidak apa – apanya, namun banyak kita dapati kumpulan bajakan puisi – puisi a.k.a copyright, dicari dimana – mana dan bisa dicetak ulang lebih dari sepuluh kali.whuiiihh….!!apakah hal itu menjadi kemajuan sastra??ternyata tidak. Manusia kota besar belum tentu kenal siapa Tatengkeng dan siapa Amir Hamzah atau yang lainnya. Fenomena yang tidak ada hubungannya yang terjadi malahan terbalik, mereka kenal tokoh Ali Oncom tokoh Boys Band ala kampoeng yang ngota dan siapa Raden Doyok Suryodipuro, tokoh comic strip (Lembergam, harian Pos Kota) gubahan Budi Priyono dan Keliek Siswoyo. Dari ratingnya Doyok menyabet angka favorit 74,9% dan Ali oncom sampai 70,4% (Pos kota, 30 Tahun melayani pembaca, 2000).kedua tokoh lembergam tersebut sungguh orisinil dalam penggambaran cara berpikir, persoalan yang geluti merupakan jendela yang memungkinkan pembaca mengetahui apa yang manusia kota besar tidak pernah tahu tentang kepekaan dalam kehidupan nyata. Buat gue tokoh penulis kartunis itu sudah ikut memperkaya khasanah sastra dengan sentilan gaya metropolitan.

Ada suatu pengandaian saat membaca instant wisdom, diri kita bisa mendadak jadi arif budiman dan itu penting untuk menghadapi gelombang kehidupan yang tak terduga. Sajak – sajak tidak di baca sebagai puisi melainkan seberkas nasehat, pedoman dan pegangan hidup.kalau perlu baris – baris tertentu di hapalkan, dikutip atau di tulis kembali di buku catatan. Orang – orang kota mulai merasa hidup mencari uang saja, hidup mendaki jabatan atau kelas sosial dan menjadi sukses tanpa merasa lengkap dengan pendalaman akan makna hidup itu sendiri.dibutuhkan suatu kepekaa dalam kepala, dibutuhkan isi untuk jiwa yang kosong, tapi untuk belajar falsafah atau agama secara rasional bertahun – tahun dan memamah biak buku – buku berat pastinya sulit, yang dibutuhkan adalah suatu instant wisdom, sekali telan langsung arif budiman

Bagaimana caranya memaklumi ini? Gue kira ini sudah menjadi bagian dari gelombang besar kekosongan jiwa yang tumbuh seiring dengan mekanismepertumbuhan kota besar itu sendiri.sepertinya aku mendapatkan semua hal yang diinginkan, tapi tidak mendapati apa – apa. Kalkulasi menunjukkan sukses, tapi kebahagiaan masih saja jadi obsesi. lantas kebahagiaan menjadi harta karun yang menjadi perburuan ke mana – mana. Bukan gold rush tapi Persuit of Happiness. Mungkin ini juga yang membuat buku – buku Anand Krishna dan Sop Ayam (Chicken Soup) laris berat. Manusia betul – betul kreatif, termasuk dalam hal memanfaatkan kekosongan jiwa orang yang menjadi komoditi pasar.

Pertanyaannya apakah semakin berkembang industry spiritual ini berarti pula semakin bayak orang kurang bahagia? Tentu saja kita boleh mempertimbangkan kekacauan zaman pula (ngomong – ngomong kapan sih gak kacau?) sebagai indikasi kebutuhan orang mencari pedoman. Masalahnya apakah di butuhkan masyarakat kosong jiwa ini untuk bisa dikibuli dengan ilusi – ilusi spiritual? Apakah tidak mungkin masyarakat mudah dikibuli ini di haru biru saja dengan kebingungan, kegelisahan dan ketakutan akan derita masa depan hanyalah jaminan bahwa kita semua tidak akan selalu bahagia? Hehheheee…jangan khawatir, ini semua Cuma pertanyaan- pertanyaan yang terbesit di kepala saat di warung nasi dan gue Cuma musafir lata pengamen kata – kata…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline