Lihat ke Halaman Asli

Dimensi Ruang : Rumah Siput dan rumah jiwa.

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1296904409340871511

26 tahun yang lalu, penari dan koreografer Sardono W. Kusumo pernah mengamati sebuah keluarga di dalam gang di Kalipasir, perkampungan padat di belakang Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ia mengamati sebuah keluarga yang rumahnya sekaligus menjadi warung. Sebuah warung tentu bukanlah tempat yang luas. Suami istri pengelola warung itu sudah berada di sana semenjak belum punya anak. Pada tahun 1980 anak mereka sudah 11 orang dan luas warung tidak pernah bertambah. Dalam prosesnya, bagaimana cara mereka memecahkan masalah ruang? Hal ini masih menjadi misteri sampai sekarang. Yang jelas, 13 manusia itu bila malam tiba tidur di kapling yang sama, yang pada waktu pagi harinya mendadak sudah menjadi warung. Bolehkah kita pastikan keluarga Kalipasir itu sudah berhasil mengatasi masalah ruang dengan elegan.

Bila di tarik pengertiannya, sebuah rumah adalah rumah jiwa. Kenyamanannya tidak ditentukan oleh perbandingan antara luas tanah dan berapa jumlah penghuninya yang cukup memenuhi kebutuhannya, yang bukan hanya tidak punya apa – apa tetapi juga tidak menginginkan apa – apa. Ajaib…dengan kata lain, dimensi ruang seperti juga dimensi waktu, adalah suatu dimensi kejiwaan. Ukuran hanya akan menjadi ukuran, maknanya ditentukan oleh manusianya.

Persoalan menjadi menarik tatkala rumah jiwa itu di konversikan ke kota besar, sebut saja Jakarta, sebuah kota yang tidak pernah bisa menjadi utuh, karena pertumbuhan yang cepat ataupun lambat tidak pernah terkendali. Selama 30 tahun gue besar di Jakarta, secara teoritis Jakarta itu sempit. Wilayahnya luas, tapi pertumbuhan penduduk dan kegagalan pengelolaan ruang membuat Jakarta secara teknis luar biasa sempit, contoh mudah adalah kemacetan. Namun seberapa jauh Jakarta terasa sempit, sumpek dan nyesek bagi warganya?dengan cara pandang yang mencoba meminjam berbagai sudut pandang warga kota dalam mempersiapkan ruang, Jakarta sungguh sebuah kota seribu dimensi. Artinya, ruang yang luas bagi warganya tidak selalu menjadi ruang kebebasan dan ruang yang terbatas tidak membatasi dinamika.

Gue kenal dengan Asep, pemilik kios rokok di depan gedung Graha Unilever jl.Gatot Subroto. Asep sudah berdagang sejak tahun 2000, lebih dari 10 tahun berselang dia dan istrinya tidur di ruang sempit gerobak rokok, secara bergantian karena berdagang selama 24 jam. Dengan ilmu gaulnya Asep akhirnya bisa memanfaatkan fasilitas Graha Unilever untuk memenuhi kebutuhannya seperti MCK (mandi, cuci, kakus) dan bisa sholat di musholanya. Yang jelas ruang sempit gerobak rokok Asep tidak membatasi geraknya sama sekali, dan caranya meruang dalam kehidupan kota. Gue kira sangatlah ajaib, Asep bisa melihat dimensi ruang tidak sepeti kebanyakan orang melihatnya.

Lain perihalnya tentang dimensi ruang dan jiwa yang di lihat para tukang ojek. Gue pernah bekerja di salah satu gedung perkantoran tertinggi di wilayah Sudirman kav. I. gue melihat tukang ojek membonceng kaum yuppies segala bangsa antara Landmark building – hotel Shangrila (PP). Sudah barang tentu yang terpelajar para pakar tata kota yang mengatur lekuk, lika liku jalan bawah tanah kolong Sudirman itu tidak mempertimbangkan sepeda motor sebagai kendaraan yang member makna jalan itu. Tukang ojek mampu melihat kekurangan setelah jalan tersebut sudah jadi. Tidak ada kendaraan umum yang menghubungkan kedua wilayah tersebut. Berjalan kaki terlalu panas, taksi terlalu mahal dan ojek adalah pilihan terakhir sekaligus isis. Maka, berkibarlah dasi kaum yuppies di boncengan sepeda motor itu dengan memegang tas Echolac erat – erat. Bukankah ini dimensi tak terduga untuk memandang ruang dalam kehidupan urban?

Kejaiban itu banyak bertebaran di Jakarta. Kita bisa lihat mendadak muncul kebun sayuran di sudut lampu merah, pasar loak segala barang. Kaum entrepreneur kelas bawah sangat peka terhadap ruang dan kebutuhan orang banyak. Mungkin akan terjadi kekacauan bilamana warung Tegal di antara gedung di wilayah Kuningan, Thamrin dan Sudirman di tutup, karena kantong para pegawai berdasi dan berblazer itu hanya cukup 30 kali makan siang di warteg, bukan di hardrock kafe.

Jelaslah rumah jiwa warga kota tidak bisa di ukur dari bangunan – bangunan megah yang ternyata semu itu. Pulang kemanakah mereka yang tertawa ria dan berdansa salsa di kafe sepanjang kemang? Tidak mustahil mereka sulit parkir dirumah susun atau mesti merayap pelan di sebuah gang yang penuh dengan orang – orang yang asik bermain karambol sambil buka baju, dimana semua sepeda motornya dikandangkan di ruang tamu.

Dalam keleluasaannya, ruang menyempit dan kehilangan dimensi, tidak ada ruang dalam keleluasaan ruang, absurd. Tentu saja fenomena internet mempertegas kesepian warga kota, yang menyapa seseorang di seberang benua, tetapi kepada tetangga sebelah menolehpun tidak. Banyak orang Jakarta sebetulnya lebih merasa berumah di kantor, di kafe, di mall, di jalan dan di mobil daripada di tempat tinggalnya sendiri. Ketika berkata “pulang” sebetulnya merasa pergi ke tempat asing. Anda bisa membayangkan bila Jakarta akan memperluas teritorialnya....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline