Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Faishal

Suka nonton Film (Streaming)

Nadliyin dan Pilihan Gubernurnya

Diperbarui: 19 Agustus 2017   23:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Khofifah Indar P akan kembali melawan Saefullah Yusuf (Gus Ipul) pada pemilihan Kepala Daerah 2018 nanti. Perpecahan kaum Nadliyin (sebutan warga NU) kembali membayangi. Pada pemilihan kepala daerah tahun 2013 lalu terbukti suara kaum Nadliyin terpecah menjadi dua, antara memilih Khofifah atau memilih Gus Ipul. Hal ini sangat disayangkan karena kaum Nadliyin yang notabene kaum santri yang belajar agama diseret-seret ke ranah politik.

Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar memunculkan komentar berlebihan bahwa suara Nadliyin akan terpecah. Dia mengatakan bahwa PKB sudah mengusung Saifullah Yusuf, tujuannya agar suara warga NU di Jatim tidak pecah (Jawapos, 10/8). Dalam hal ini sejak kapan warga NU (kaum santri) harus diseret-seret masuk ke dalam ranah politik? Hal ini jelas mengebiri kebebasan warga NU untuk memilih kepala daerah sesuai dengan haknya. Boleh dibilang, jelas ada ambisi politik dengan memanfaatkan NU sebagai motor dukungan PKB, pertanyaannya mengapa harus organisasi keagamaan untuk mendapatkan menghimpun suara dalam ranah politik?

Jika demikian mengapa PKB tidak meleburkan diri saja ke dalam NU untuk membuat sebuah partai NU? Nadhatul Ulama didirikan untuk menjaga keberlangsungan nilai-nilai Islam (Aswaja) di bumi Nusantara dan belahan dunia pada umumnya (Mansyur, Wasid, menegaskan Islam Indonesia, 2014:3). Dalam kolomnya yang sama berjudul, Aku (tetap) sebagai Nadliyin, mengapa? Diuraikan bahwa kehadiran kiai-kiai pesantren yang konsisten dan tulus dalam struktur NU akan menambah nilai juang NU bergelora untuk mendampingi warganya, bukan mereka yang selalu berpolemik---jangka pendek---dengan mengatasnamakan NU (2014: 5).

Artinya, kiai berfungsi untuk pemberi saran dan tidak turut serta ikut berkampanye dalam pemilihan suatu kepala daerah yang bersifat sementara. Oleh sebab itu, wajar jika Khofifah berkomentar "Kalau dari awal partainya sudah cukup untuk mendukung kandidat, PKB sendiri kan sudah cukup. Apa tidak seyogyanya fokus saja pada kandidat yang didukung" (Jawapos, 10/8). Dengan kata lain, Khofifah lebih memilih untuk tidak melihat mengenai basis pemilihan, entah nadliyin entah tidak, jika dirinya merasa cukup mampu dan cukup dukungan untuk maju, maka dia menawarkan diri untuk dipilih oleh rakyat Jatim.

*****

Selama ini banyak organisasi yang dibuat untuk menguatkan seseorang agar dapat berdiri dipuncak. Golkar menguatkan Pak Harto, PDIP menguatkan Megawati, Demokrat menguatkan Susilo Bambang Yudhoyono, PAN menguatkan Amien, dan PKB menguatkan Abdurrahman Wahid. Diluar ranah itu ada ICMI menguatkan B.J Habibie. Jika diamati lagi didalam organisasi tersebut ada golongan lagi, Masyumi, Nasionalis dan NU. Mengutip perkataan KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dalam buku Api Islam Nurcholish Madjid, "Para pengikut bung Karno sudah pasti memilih Megawati dan para pengikut Masyumi atau Islam non-NU sudah pasti memilih Amien Rais," tegasnya (2010).

Tapi ini Nadliyin, warga NU, sangat disayangkan ketika mereka harus diseret ke ranah politik. Kita tahu bahwa NU merupakan organisasi keagamaan lantas mengapa menjadi semi-politik? Sejarah bibit perpolitikan sudah masuk ke dalam NU ketika keluar dari Masyumi untuk mengikuti pemilu tahun 1955. Pada tahun 1998, keruntuhan Orde Baru ke Reformasi banyak yang mendirikan partai tak terkecuali NU melahirkan PKB dengan Abdurrahman Wahid sebagai ketuanya. Dengan mandataris MPR, Abdurrahman Wahid PKB menjadi partai besar begitu juga dengan NU. Gus Dur menjadi presiden dengan dukungan Nadliyin, jika diamati maka belajar dari kasus tersebut bahwa warga Nadliyin menjadi sangat potensial untuk harus diakomodasi demi memperebutkan kursi baik legislatif dan eksekutif.

Warga NU harus belajar pada muktamar ke-33 di Jombang tahun 2016. Muktamar, dimana KH. Mustofa Bisri sampai menangis dan akan mencium setiap kaki peserta yang hadir demi mereduksi konflik. NU dalam hal ini warganya adalah para kaum santri yang belajar agama tidak elok untuk diseret-seret dalam ranah politik. Jika masuk ke politik, maka mereka harus menanggalkan baju NU dalam pemilihan kepala daerah nanti. Mereka harus belajar mengenai kebebasan dan kemerdekaan berpikir dari Ulil-Abshar Abdalla, ia khawatir pendapat "keras" akan mewarnai jalan pikiran kaum Muslim pada umumnya (Islamku, Islam Anda, Islam kita, 2006: 146). Dengan kebebasan, diharapkan pendapat-pendapat keras dari luar dirinya dapat diuraikan karena ia berpikir memilah mana yang dapat diikuti dan mana yang tidak berkaitan dalam prinsip memilih calon kepala daerah.

Sampai pada akhirnya, bahwa memang tidak ada batasan dalam bertindak dalam hal ini memilih kepala daerah. Cak nur menulis "dan kita diharap mengetahui batas itu dengan hati nurani. Sebab hati nurani tempat bersemayamnya kesadaran alami kita tentang kejahatan dan kebaikan-(QS :91:8), (1992). Sikap Cak Imin yang ketakutan tersebut mengindikasikan bahwa yang membolehkan memberi batas ialah dirinya sendiri, dengan menyuruh warga Nadliyin untuk memilih apa yang telah diusungnya. Dengan demikian, seharusnya suara kaum Nadliyin dapat pecah dalam ranah politik (Pilkada), tapi bersatu dalam ranah keagamaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline