Pancasila tidak dapat diasumsikan melalui ayat-ayat Al-Qur'an, pancasila merupakan ekstraksi yang oleh Founding Father diambil dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Ada yang menarik dari pancasila, yakni Bung Hatta dalam suatu kisah (beberapa versi) diceritakan bahwa bung Hatta telah berkonsultasi kepada KH. Wachid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo untuk menghapus tujuh kata yakni, "Dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya".
Dengan dihapuskannya tujuh kata tersebut, diharapkan bahwa usaha atau proses perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari penjajah tidak hanya di dominasi oleh kaum muslim saja. Hal tersebut sangat rasional mengingat Indonesia tidak hanya didiami oleh umat muslim saja, kalau tidak dihapus akan ada kecemburuan sosial berisikan SARA.
Sayangnya, saat ini, beberapa orang malah mencaci maki pancasila, karena sebagaimana islam kita harus berpedoman pada kitab suci bukan kepada pancasila. Alih-alih yang muncul adalah pancasila sudah sesuai dengan syariat islam, pancasila adalah islam dan islam adalah pancasila, padahal tidak begitu. kecenderungan ini yang membuat Nurcholish Majid mengatakan adanya distorsi (penyimpangan). Seharusnya, pancasila, ya pancasila dalam kehidupan berbangsa dan Islam, ya islam dalam kehidupan beragama, saling melengkapi namun tidak bercampur satu sama lain, jadi tidak dapat dikatakan Pancasila adalah Islam dan Islam ada Pancasila.
Gejolak yang ada di Indonesia kini tidak lain adalah bentuk kebebasan ajaran agama, bukan karena bentuk pengekangan seperti pada abad ke-15 atau 16 M. Tidak ada pengekangan dalam beragama dari Pemerintah RI, melainkan ungkapan kebebasan berlebihan beberapa orang yang tergabung dalam kelompok Islam bahwa mereka menginginkan sistem bernegara dalam bentuk Daulah Islamiyah/ Khilafah. Hanya saja, nabi Muhammad SAW tidak mengajarkan kepada kita bentuk negara islam, beliau hanya mengajarkan mengenai kepemimpinan, kita harus mengakui hal itu.
Tariq Ramadhan, mengkutip dari bukunya Teologi Dialog Islam-Barat (2002: 46), menulis sebuah sabda dari Nabi Muhammad SAW ke kaum Anshar perihal masalah pencangkokan pohon kurma. "Saya adalah seorang manusia. Jadi, ketika aku menyuruhmu melakukan hal tertentu berkenaan dengan agama, terimalah; tetapi ketika aku menyatakan pendapat pribadiku tentang sesuatu, ingatlah bahwa aku adalah seorang manusia. Kalian mengetahui lebih baik tentang urusan dunia ini (HR : Bukhari dan Muslim).
Dengan ini, tidak ada landasan dalam pembentukan atau sistem khilafah islamiyah yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Abdurrahman Wahid juga mengatakan, sia-sia saja. Berkaitan dengan sistem Khilafah atau Daulah Islamiyah, kita sendirilah yang menentukan itu, di Indonesia sejarah perubahan sistem pemerintahan telah banyak berganti-ganti. Pada masa pra-sejarah, contohnya, ada suatu istilah yakni primus inter pares, yakni penunjukkan laki-laki dalam sebuah kelompok untuk memimpin. Dimana, nantinya PIP akan dirubah oleh ajaran agama hindu yang masuk ke Indonesia menjadi sistem keturunan, jadi anak raja yang pertamalah yang memimpin kelompok (kerajaan), begitu seterusnya hingga sampai pada hari ini bentuk sistem pemerintahannya ialah menggunakan majority rule dalam sistem demokrasi.
Jika bersikukuh untuk mendirikan Daulah Islamiyah dan mengganti Pancasila, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya Islamku, Islam Anda dan Islam Kita (2006) menjelaskan suatu adagium yang dikenal islam. Adagium itu berbunyi "(La islama Illa bi Jama'ah wala Jama'ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa bi Tha'ah)", yang artinya Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan". Adagium tersebut, dari tulisan Gus Dur, berasal dari Khalifah Umar bin Khattab, dimana khalifah Umar tidak bermaksud untuk menjadikan ini sebagai wacana politik, akan tetapi lebih pada jaring pengaman sosial.
Kita masih ingat kejadian pemeberontakan DI/TII yang dilakukan oleh alm. S. M Kartosuwiryo pada tahun 1948, aktivitas tersebut bukanlah bentuk peng-aplikasikan ajaran nabi Muhammad. Kegiatan tersebut menurut pendapat penulis hanyalah sebuah bentuk keegoisannya semata karena ketidaksukaan atau ketidaksetujuan atau malah kebencian terhadap orang-orang yang menghendaki sebuah proses sosial.
Jikalau demikian dapatlah dimengerti bahwa yang terjadi di Indonesia maupun diluar negeri (ISIS dan semacamnya) hanyalah bentuk keegoisan seorang oknum semata. Karena, mereka tidak ingin tunduk dalam sebuah sistem yang sudah dibuat sedemikian rupa.
Kita semua dapat melihat berkaitan dengan sistem pergantian pemimpin kelompok dari ketika Nabi Muhammad SAW wafat. Beberapa kelompok mengadakan musyawarah (demokrasi langsung) dan mereka setuju mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah selanjutnya, begitu seterusnya hingga sampai kepada Khalifah Ustman bin Affan. Sepeninggal Khalifah Ustman, beberapa kelompok bersitegang berkaitan dengan masalah penerus kepemimpinannya, ada semacam ketidakadilan menurut masing-masing pihak yang pada akhirnya terpecahlah aliran islam.
Apabila sistem tersebut diterapkan menjadi sebuah Daulah Islamiyah, maka tercipta suatu tatanan kenegaraan yang kacau dan amburadul. Karena, masing-masing akan mengakomodasi pihaknya masing-masing apabila terjadi pergantian kepemimpinan, cenderung KKN dan cenderung tidak adil pada masyarakat. Keadilan dapat tercipta dalam sebuah sistem demokratis, dimana semua pihak dapat berbicara dan menyumbangkan pendapat. Hal ini merupakan pembelajaran bahwa proses atau sistem bernegara bukanlah proses agama melainkan politik bernegara, kita harus berhati-hati dan belajar dari masa lalu.