Kemaran Presiden Jokowi dalam Sidang kabinet pada tanggal 18 Juni 2020 menjadi klimaks dari berakhirnya "bulan madu" bagi para Menteri yang ada dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang sudah berjalan 8 bulan lebih sejak dilantik pada akhir Oktober 2019 silam.
Kendati sarat dengan pro dan kontra, tetapi paket KIM Presiden Jokowi dengan Wapres Amin 2019-2024 dianggap telah mewakili berbagai kepentingan kunci ketika Jokowi memulai periode keduanya sebagai orang nomor satu negeri ini. Disana memang tidak semuanya dari profesional, tetapi juga mewakili para politisi yang sarat kepentingan politik juga yang harus diakomodri oleh pengausa RI ini.
"Ujian" bagi para Menteri KIM benar-benar memuncak ketika pandemi Covid-19 menerpa negeri ini. Dan tidak tanggung-tanggung, nyaris melumpuhkan sendi-sendi utama bumi republik ini tanpa ampun. Terutama sektor ekonomi yang menjadi pengikat segala dinamika kehidupan masyarakat. Setelah melewati kuartal pertama 2020, nampaknya kerja keras sang Presiden untuk terus "berjibaku" melawan dengan penyebaran wabah virus corona ini, tidak terimbangi dengan kerja para pembantunya di level Menteri.
Presiden sudah menyediakan semuanya. Tidak saja infrastruktur hukum dan peraturan yang dibutuhkan, tetapi Jokowi bertarung ke wilayah legislatif untuk mendapatkan anggaran Rp 400 triliun, bahkan angkanya sudah menyentuh diatas angka Rp 600 trilun sebagai "darah" menggerakan berbagai program melawan penyebaran dan dampak Covid-19.
Estimasi yang sering diungkapkan oleh Menkeu SMI bahwa kuatarl II pada tahun 2020 pertumbuhan ekonomi akan meluncur minus, jauh di bawah angka pertumbuhan ekonomi kuartal pertama sebesar nyaris 3%, menjadi makna signfikan dari "kemurkaaan" seorang Presiden Jokowi untuk menegur habis para Menterinya yang nampaknya tidak memiliki sense of crisis dalam melakukan tupoksinya. Juga nampak dari serapan anggaran yang sangat tidak signifikan ketimbang harapan.
Siapapun dalam posisi Presidein Jokowi yang menghadapi situasi ini "pasti akan emosional dan marah" melihat pembantunya seperti santai-santai saja dan merasa situasi seperti business as usual. Padahal, situasi sedang genting. Pertumbuhan ekonomi anjlok. Pengangguran semakin meningkat, dan angka kemiskinan terus merambat naik. Ramalan lembaga dunia pun menjadi sangat menakutkan ketika isu krisis dan depresi ekonomi dunia terus dinyanyikan hingga kini. Dan tentu saja Jokowi tidak rela negeri ini akan masuk dalam "situasi resesi" itu. Karena semuanya pasti akan semakin "ambyarr".
Secara manajerial, 8 bulan bagi para Menteri KIM sudah lebih dari cukup untuk menilai kemampuan mereka melewati ujian sejak menjadi menteri. Bahkan, masa pandemi Covid-19, sejak bulan Maret 2020 hingga sekarang, menjadi takaran apakah para menteri ini layak dipertahankan atau diganti saja.
Kini saatnya bagi sang Presiden untuk mengeksekusinya, kalau tidak maka golden moment menuju sisa kuartal tahun budget 2020 akan semakin berat kalau menteri yang "tidak becus" tidak diganti. Dan efek dominonya bagi kehidupan masyarakat semakin berat. Dan ketika semakin dalam kejatuhan ekonomi negeri ini, dipastikan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa bangkit dengan benar.
Dalam sebuah webinar nasional, ahli dan pengamat ekonomi Faisal basri memprediksi bahwa pemulihan ekonomi Indonesia akan tercapai sekitar lima tahun lagi.
Data dan analisisnya mempertimbangkan defisit pertumbuhan yang sangat dalam beberapa tahun terakhir. Ini pun tergantung dari kemampuan KIM Jokowi-Amin untuk memenuhi segala kondisi yang dibutuhkan untuk bangkit. Bila tidak, maka masa pemulihan ekonomi bisa saja lebih lama lagi akan tercapai.
Mencermati "emosi dan kemarahan" yang disampaikan secara terbuka oleh Jokowi dalam Sidanbg Kabinet Juni yang lalu, dan beredar secara luas di masyarakat, maka harusnya tidak ada alasan bagi Presiden untuk tidak mengganti para menteri yang menjadi kendala bagi pekerjaan yang harus dilakukan secara extraordenary. Dan bukan kerja biasa-biasa saja, bukan lagi kerja secara linier, karena itu asumsinya adalah situasi normal dan stabil. Sementara situasi yang sedang di hadapi kini adalah situasi tidak normal, abnormal dan cenderung semakin menurun.