Ach...berita duka ini menyentak saya, antara percaya dan tidak. Karena baru saja selesai mengajar, di GroupsWhats Apps kami dari satu alumni dapat berita duka. Arief Budiman telah berpulang untuk selamanya dalam usia 81 tahun karena penyakit parkinson yang sudah agak lama dideritanya.
Semula berita ini saya dan teman-teman menganggap hoaks, tetapi Prof Hendrawan Supraktikno yang sama-sama satu alumni dan teman sekerja dengan Pak Arief Budiman ketika sama-sama di kampus, yang mengabarkan, serta mengecek di Tempo.com, nampaknya berita ini benar adanya.
Ketika berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 42 tahun silam dan menjadi mahasiswa disana termasuk dekat dengan Pak Arief Budiman atau nama aslinya Soe Hok Djien, karena sempat mengambil beberapa mata kuliah yang diajarkan oleh beliau, dan secara khusus mata kuliah Sosiologi Pembangunan, yang merupakan bidang kepakaran Pak Arief.
Beliaulah yang mengajarkan kepada saya menjadi penulis sejak mengikuti mata kuliah yang diampunya itu. Kuliahnya sangat mengasyikan dan nyaris waktu begitu cepat berlalu bagaikan sebuah cerita film yang terus menggoda untuk di dengar dan disimak.
Saya ingat betul sebuah tugas di kelas, kami di suruh pergi ke desa di sekitar Salatiga, dan saat itu saya pilih desa Tuntang untuk saya kunjung, dan diminta kami menulis apa yang kami lihat dan kami rasakan selama berada disana. Kemudian diminta menceritkan dan menjelaskan di kelas sebagai bahan diskusi. Dari hasil pengamatan kami semua, Pak Arief mulai mengajar beragam teori, pendekatan dan analisa sosial ekonomi. Sungguh sangat membekas dan tidak pernah saya akan lupa..
Dari situlah beliau membimbing saya untuk terus menulis. Termasuk tulisan pertama saya yang masuk koran Kompas sebagai hasil penelitian saya tentang "Kondisi Empiris Industri Kecil di Kota Salatiga". Dan ketika tulisan itu dimuat di Kompas (halaman 4) sangat senang untuk tetap bersemangat menulis hingga kini.
Siapa yang tidak kenal dengan Arief Budiman di negeri ? Tidak saja karena daya kritisi beliau yang luar biasa, sehingga selalu berbeda dan berseberangan dengan penguasa Orde Baru saat itu, bahkan cenderung dianggap "musuh pemerintah", tetapi juga sejumlah pemikirannya yang selalu kontroversial di kalangan akademisi maupun politisi di Indonesia.
Saya tidak lupa, bagaimana beliau menjadi salah satu tokoh intelektual yang menjadi tokoh dalam polemik Sistem Ekonomi Pancasila yang kala itu di motori oleh Profesor Mubiyaro dari UGM Yogyakarta. Sebab, Arief Budiman menjadi tokoh dan penganut yang sangat menentang kapitalisme yang dianggap menguasai Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto, Orde Baru.
Arief Budiman memang sungguh seorang "sosialis" yang penuh kerendahan hati. Ini tidak hanya secara retorika, tetapi betul-betul dilakoni dalam kehidupan sehari-hari. Nyaris hampir semua kalangan menengah kebawah sangat dekat dengan beliau.
Ketika saya lulus dan menjadi dosen di almamater saya, FEB UKSW Salatiga, maka saya sempat menjadi tetangga bersebelahan rumah dengan kelaurga Arief Budiman dengan istri setianya Ibu Leila Ch Budiman dan dengan satu pasang anak-anaknya, seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Dalam kesehariannya sebagai dosen dan peneliti di UKSW waktu itu, beliau terkenal dengan memakai vespa buntut, dan ke mana-mana lebih banyak mengenakan kaos atau baju lengan pendek sederhana ketimbang yang lain. Seorang guru, peneliti, penulis produktif yang sangat rendah hati.