Akhirnya Dewan Pengawas (Dewas) KPK di lantik bersamaan dengan Komisioner KPK periode 2019-2013 di istana negara oleh Presiden Joko Widodo pada hari Jumat 20 Desember 2019 dengan penuh ketenangan, damai dan adem ayem, karena memang sama sekali tidak ada aksi massa atau demo besar-besaran seperti yang terjadi sekitar dua bulan yang lalu.
Teka-teki siapa saja yang di pilih oleh Presiden Jokowi masuk dalam Dewas menjadi terjawab secara tuntas. Kendati beberapa waktu sebelumnya sudah ada bocoran disana sini terutama oleh Presiden sendiri yang menyebutkan beberapa nama yang memang akhirnya juga masuk dalam Dewas. Bahkan Menkopolhukam Mahfud MD sempat mengatakan bahwa "Publik Akan "Wow" dengan Dewas KPK Pilihan Jokowi".
Benar juga, kelima anggota Dewas KPK sungguh luar biasa dan "Wow" karena semuanya pakar dibidang yang sangat bervariasi seperti dijelaskan oleh Presiden Jokowi bahwa kelima tokoh ini sangat baik, hebat dan sangat kuat.
Jokowi juga menyebut ia sengaja memilih lima orang anggota berdasarkan latar belakang yang berbeda-beda. Tumpak merupakan mantan Jaksa dan pimpinan KPK, Harjono yang merupakan ketua DKPP dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Harris, dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Albertina Ho.
Presiden Jokowi juga sangat benar dan tepat bahwa kelima Dewas ini memiliki rekam jejak yang tidak bisa diragukan lagi integritas mereka dalam penegakan hukum. Bahkan hampir semuanya berada dalam posisi kunci, tertinggi dan sukses dalam bidang penegakan hukum.
Namun, nampaknya ini menjadi sebuah situasi yang akan menjadi persoalan khusus bagi KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi. Karena ketika Dewas menjadi sangat hebat, dan sangat kuat, bisa jadi menjadi sumber kelemahan dari KPK itu sendiri.
Khususnya pada level eksekusi pemberantasan korupsi oleh Komisioner KPK. Kalau Dewas sangat kuat, artinya, akan sangat dominan maka bisa saja Komisioner KPK menjadi "lemah", dan mungkin tidak bisa berkutik untuk gerak cepat, tangkas dan tuntas seperti yang selama ini terjadi.
Sebenarnya kekuatiran publik terletak dalam fungsi Dewas KPK ini. Karena bisa menjadi penghambat dalam menuntaskan kasus-kasus megakorupsi di negeri ini. Bisa jadi akhirnya semua tergantung kepada Dewas itu sendiri, padahal Dewas tidak memiliki kewenangan operasional karena itu ada di wilayah Komisioner, Firli Cs.
Lembaga ICW sendiri sampai sekarang tetap bersikukuh menolak peran dan fungsi Dewas dalam KPK karena bertentangan dengan prinsip indipendensi yang melekat dalam lembaga KPK. Jadi, ketika ada Dewas maka prinsip indipendensi itu menjadi tidak memiliki makna dan kekuatan apa-apa lagi.
Kendati karena Dewas ini baru pertama kali ada, maka menjadi kewenangan Presiden untuk memilih dan menetapkannya, tetap saja menimbulkan "kecurigaan" publik kepada tentang tidak netral dan indipendensi Dewas ini. Sebab hal senada juga diingatkan oleh cendekiawan muslim dan tokoh anti korupsi negeri ini Syafii Maarif yang diberitakan oleh kompas.com dengan judul "Soal Dewan Pengawas KPK, Syafii Maarif: Jangan Orang Cacat Rekam Jejaknya"
"Tapi yang luwes juga dicari jangan yang hanya tahu hukum saja, yang melihat sesuatu itu dari beragam spektrum, perspektif," kata Maarif di Kantor Maarif Institute, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2019)