"Jika tidak dapat terbuka, tidak dapat dibereskan, tutuplah usaha bisnis perusahaan."
Seminggu terakhir ramai berita "Mendobrak BUMN". Mendobrak dimengerti sebagai usaha dengan tenaga membuka pintu yang tertutup, baik dengan kekuatan tangan, lengan maupun seluruh badan.
Mendobrak secara fisik diperlukan tenaga dan kekuatan. Jika pintu dapat didobrak, akan menjadikan mereka yang menutup dan menghalanginya "terdobrak" maka usaha "pendobrakan" mengejutkan bagi yang di dalam ruangan dalam "zona nyaman".
Dobrak mendobrak BUMN ini menjadi sangat penting dan utama serta mendesak untuk dieksekusi. Maaf, "ini pesan Presiden!". Ini sesuai dengan anjuran Presiden agar kita maju bekerja meninggalkan "zona nyaman", maka perlu tindakan seperti "Mendobrak BUMN".
Dan bukan saja hanya BUMN tetapi juga yang lain, baik unit bisnis maupun unit pelayanan di seantero layanan pemerintahan di republik ini.
Dalam pengertian "Mendobrak BUMN" bukanlah memaksakan agar pintu perusahaan terbuka. Tetapi sesungguhnya yang dimaksud "mendobrak" di sini lebih menekan pada sebagai kekuatan kemauan, political will, dan keahlian professional agar ketidakberesan di dalam beberapa perusahaan BUMN dapat teratasi.
"Mendobrak BUMN" diperlukan keberanian, karena sudah sejak berpuluh tahun sejumlah perusahaan utama milik negara ini dijadikan usaha terselubung, usaha yang menguntungkan bagi sekelompok orang tertentu demi keuntungan kelompok yang bertahan melalui akal-akalan dan kekuatan tertentu. Dan lebih parah lagi, ini sudah berlangsung puluhan tahun. Sungguh menyedihkan!
Kalau mencermati dengan baik, di dalam ulasan hampir setengah halaman di harian Kompas Kamis 14 November 2019, Paul Sutaryono, Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Vice President BNI, mengulas usaha Menteri BUMN yang baru dengan judul "Tantangan Menteri BUMN".
Sangat mencerahkan, karena dalam rubrik "Opini" di harian Kompas tersebut secara cukup detail diungkap sebuah kenyataan keadaan berbagai perusahaan BUMN secara kuantitatif adanya 143 BUMN, mengenai: kontribusi yang meliputi pajak, dividen, dan pembayaran non pajak, yang dianalisis penulis sebagai "rapor yang agak biru". (Dengan arti, sebagian BUMN berprestasi cukup baik)
Namun, dalam sub Bab "Aneka Tantangan Kedepan" disana ditulis mengenai perlunya reformasi birokrasi, antara lain mandat Presiden untuk memangkas eselon 3, 4, dan 5 untuk mengerek efisiensi mempercepat pengambilan putusan dan eksekusi program.