Dinamika politik nasional terus saja berkontraksi tiada henti. Kooptasi dan yang disebut koalisi terus bergerak mencari bentuknya yang konkrit. Semula bersatu dalam suatu koalisi berubah menjadi bentuk koalisi baru. Setiap unsur atau partai mencari wadah yang cocok dengan kepentingan yang menyatukan masing-masing.
Memang benar pameo klasik yang berkata bahwa kepentinganlah yang menyatukan orang dalam dunia politik. Kalau kepentingannya masih sama mereka akan terus bersama dan bergandengan tangan sehidup semati. Tapi, kalau kepentingannya sudah tidak sama, maka mereka akan berpisah dan mencari yang lain.
Nampaknya itulah yang sangat menarik dari apa yang dilakukan oleh Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Pertemuannya dengan Ketua Umum PKS pada Rabu 30 Oktober 2019 yang lalu menjadi sebuah klimaks baru "ketidaknyamanan" dalam koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Kendati dalam KIM masih ada beberapa orang Nasdem menjadi sebagai Menteri, namun kegelisahan seorang Surya Paloh tidak bisa disembunnyikan.
Menarik mencermati konformasi yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada pertanyaan sejumlah wartawan pada hari Jumat, 1 November 2019 tentang pertemuan Suraya Paloh dengan Sohibul Iman. Sangat normatif bahwa Surya Paloh lebih kangen untuk berjumpa dengan Ketua Umum PKS ketimbang Jokowi.
"Mungkin Pak Surya Paloh kangen sudah lama enggak ketemu Pak Sohibul Iman. Mungkin dengan saya enggak begitu kangen karena sudah sering ketemu" kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Betulkah pertemuan Surya Paloh dengan Sohibul Iman hanya sekedar kangen saja seperti konfirmasi Jokowi? Rasanya, tidak sekedar kangen, tetapi ini adalah kangen politik yang memiliki agenda politik pasca pelantikan Jokowi sebagai Presiden dan penetapan KIM 2019-2024.
Publik memahami dengan dinamika politik yang sedang berkontraksi terutama di dalam koalisi Jokowi yang dilihat sebagai sudah mulai tidak solid lagi. Hal ini terkonfirmasi dari ada 3 isu yang diberitakan oleh kompas.com sebagai hasil "kangenan politik" antara Suraya Paloh dengan Sohibul Iman, yaitu :
Pertama, kedua partai sepakat untuk memperkuat check and balance atau fungsi pengawasan terhadap pemerintah di DPR.
Kedua, Nasdem dan PKS sepakat menjaga kedaulatan NKRI dengan menjalankan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Ketiga, mewariskan sejarah kerja sama para pendiri bangsa, yakni antara kelompok nasionalis yang memuliakan nilai-nilai agama dan kelompok Islam yang memegang teguh nilai-nilai kebangsaan.
Kecurigaan publik tentang tendensi yang sedang dibangun oleh Surya Paloh sudah sejak awal jumpa dengan Gubernur DKI Anies Baswedan yang pada saat yang sama juga terjadi pertemuan nasi goreng antara Megawati dengan Prabowo. Dan paling keras ketika Sekjen PDIP Hasto menegaskan kalau memang Nasdem mau keluar dari koalisi Jokowi silakan saja, hanya karena masuknya Gerinda dalam kubu Jokowi.
Dinamika politik ini menjadi semakin menarik, karena posisi seorang Surya Paloh dengan Nasdemnya menjadi "dua kaki". Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa dengan ada 3 orang Menteri dari Nasdem dalam KIM maka wajarlah Jokowi merasa masih menjadi bagian dari koalisinya. "Jangan dikaitkan Nasdem ketemu PKS koalisi rapuh, apa hubungannnya. Enggak ada hubungannya. Untuk kebaikan bangsa, kebaikan negara, ketemu-ketemu menurut saya baik saja," kata Jokowi.