Akhirnya yang dikuatirkan oleh publik terjadi juga, walaupun tidak se seram yang dibayangkan, yaitu aksi 22 Mei 2019 oleh kubu Capres 02 berujung bentrok dan kerusuhan, walaupun tidak merata terjadi di semua wilayah di Jakarta karena pihak aparat keamanan mampu melokalisir spot aksi yang sudah mulai anarkis dengan perusakan dan pembakaran.
Mengikuti dengan seksama peristiwa demo yang di lakukan pasca pengumuman hasil pemilu oleh KPU, akhirnya terjadi bentrok dan berwujud kerusuhan di sejumlah titik atau wilayah Jakarta mulai 21, 22 hingga pagi 23 Mei, yang sudah jatuh korban jiwa 6 orang dan 200-san terluka di beberapa rumah sakit, pembakaran mobil dan pengrusakan yang di lakukan oleh "oknum" massa yang berdemo. Kemudian pertanyaan yang sangat menggangu adalah apakah penanganannya terlambat atau kecolongan?
Artinya, kalau tidak kecolongan dan tidak terlambat penanganannya, maka harusnya korban jiwa tidak perlu ada. Dan massa tidak perlu ada yang terluka karena tertembak peluru karetkah, karena kena gas air mata atau penyebab lainnya.
Bahkan juga tidak perlu terjadi penyerangan dan pembakaran sejumlah mobil di asrama brimob, serta pembakaran mobil bus milik keamanan di wilayah Slipi.
Pihak Keamanan Kecolongan
Harus diakui bahwa pihak polisi dan keamanan sangat bijaksana dan super hati-hati dalam menghadapi para demo yang dari waktu ke waktu semakin intens dan mau bentrok saja.
Sejak awal Polri sudah mengumumkan kalau petugasnya tidak dibekali oleh peluru tajam, kecuali gas air mata, tameng, pentungan dan peluru karet. Ini tentu sangat menyejukkan karena akan ketahuan penumpang gelap yang akan menggunakan senjata diluar itu.
Juga patut di apresiasi bahwa petugas sangat sabar dan tidak terpancing emosi yang berlebihan dalam menghadapi pancingan dari pihak massa yang demo. Sikap ini nampak dimanfaatkan habis oleh massa sehingga mereka cenderung lebih liar dan brutal, sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, apalagi mereka mencari berbagai cara mengacaukan situasi.